Cherreads

Chapter 4 - Bab 4: Seni Menghindar yang Kacau

Keheningan setelah pintu hancur hanya berlangsung sedetik. Si badut dengan topeng mengerikan itu adalah yang pertama bergerak. Ia mengayunkan rantainya, dan bola besi berduri di ujungnya melesat ke arah Rian dengan suara siulan yang membelah udara.

Ruangan itu sempit, penuh dengan rak dan meja. Tidak ada ruang untuk menghindar secara elegan. Rian hanya bisa menjatuhkan dirinya ke samping secara naluriah.

WHUUSSHH!

Bola berduri itu meleset dari kepalanya beberapa sentimeter dan menghantam rak buku di belakangnya. Perkamen-perkamen tua dan buku-buku tebal berhamburan ke udara seperti confetti dalam parade mimpi buruk.

"Cepat juga kau, badut sirkus!" Si botak menyeringai, melesat maju dari sisi lain sementara Rian masih di lantai. Kedua pisau dagingnya terangkat, siap untuk mencincang.

"Rian, awas!" pekik Olivia. Ia tidak hanya berteriak. Dengan gerakan cepat dan terencana, ia menyambar lentera minyak dari meja dan melemparkannya ke lantai di antara Rian dan si botak.

PRAAANG!

Kaca pecah dan minyak menyebar, lalu api dari sumbu yang masih menyala langsung menyambar, menciptakan dinding api kecil yang sesaat. Itu tidak cukup untuk menghentikan si botak, tapi cukup untuk membuatnya ragu dan melompat mundur selangkah.

Jeda itu adalah semua yang Rian butuhkan. Ia berguling menjauh, menggunakan momentumnya untuk bangkit berdiri di dekat meja arsip yang kokoh. Jantungnya berpacu seperti drum solo. Ini bukan lagi jalanan. Orang-orang ini datang untuk membunuh.

Si badut menarik kembali rantainya, bersiap untuk ayunan kedua. Rian memejamkan mata sejenak, fokus pada kemampuan barunya. Suara-suara di ruangan itu menjadi tajam dan jernih di dalam kepalanya. Derak api. Napas berat si botak. Dan yang terpenting, gemerincing rantai si badut saat ia memutarnya. Rian bisa mendengar lintasan serangannya sebelum bola itu diluncurkan.

Matanya terbuka. Ia tidak menunggu serangan itu datang. Saat ia mendengar rantai itu menegang untuk diayunkan, ia menunduk dan mendorong meja arsip yang berat itu dengan sekuat tenaga.

Meja kayu ek yang seharusnya membutuhkan dua orang kuat untuk digeser itu meluncur di lantai seperti kereta luncur. Meja itu menghantam lutut si badut tepat saat ia melepaskan senjatanya. Pria itu menjerit kesakitan dan kehilangan keseimbangan, membuat ayunan bola berdurinya liar dan tidak terarah. Bola itu menghantam langit-langit, merontokkan plester.

Sementara itu, si botak telah memadamkan api kecil dengan kakinya dan kembali menerjang Rian dengan amarah. Kali ini Rian tidak punya apa-apa untuk berlindung. Ia mengangkat lengan kirinya untuk menangkis.

TERSENTAK!

Bukan suara dentang tumpul seperti pipa besi sebelumnya. Ini adalah suara logam tajam yang beradu dengan sesuatu yang mustahil. Pisau daging itu tidak bengkok, tapi juga tidak menembus. Lengan Rian hanya terasa seperti ditampar dengan keras. Getarannya menjalar hingga ke bahu.

Si botak menatap bilah pisaunya, lalu ke lengan Rian yang bahkan tidak tergores. Matanya melebar karena tak percaya dan sedikit ketakutan. "Kulitmu ... terbuat dari apa?!"

Rian tidak menjawab. Adrenalin memberinya keberanian yang tidak ia miliki. Ia melihat si badut mencoba untuk bangkit, rantainya masih terayun-ayun. Ia melihat si botak bersiap untuk serangan kedua. Waktu terasa melambat lagi, tapi kali ini berbeda. Bukan hanya persepsi, tapi tubuhnya terasa ringan, siap untuk meledak.

Sebuah kilasan kecepatan.

Tanpa berpikir, Rian melesat maju—bukan dengan kecepatan kabur, tapi sebuah ledakan singkat yang tidak wajar. Ia menerobos pertahanan si botak, tangannya terulur bukan untuk memukul, tapi untuk mendorong. Dorongannya mengenai dada si botak dengan keras.

Pria berotot itu terbang mundur seolah ditabrak mobil, punggungnya menghantam dinding dengan keras hingga membuat bangunan itu bergetar. Ia merosot ke lantai, mengerang kesakitan, kedua pisaunya jatuh berdentangan.

Kini hanya tersisa si badut yang masih pincang. Melihat rekannya dilumpuhkan dengan begitu mudah, ia menjatuhkan rantainya dan mencoba kabur melalui pintu yang sudah hancur.

Rian tidak akan membiarkannya pergi dan membawa lebih banyak masalah. Dengan kilasan kecepatan yang sama, ia sudah berada di belakang si badut, satu tangannya mencengkeram bahu pria itu.

"Mau ke mana?" desis Rian.

Si badut berbalik dengan panik, mencoba melepaskan pukulan putus asa. Rian menangkap pergelangan tangannya. Dan untuk pertama kalinya, ia tidak hanya menahan. Didorong oleh rasa takut dan keinginan untuk mengakhiri ini, ia meremasnya.

KRAKK!

Suara tulang yang patah terdengar mengerikan di ruangan yang sunyi itu. Si badut mengeluarkan jeritan melengking yang tidak manusiawi, jatuh berlutut sambil memegangi pergelangan tangannya yang kini bengkok dengan aneh.

Keheningan kembali menyelimuti ruangan, hanya terganggu oleh suara erangan kedua penyerang dan derak api kecil yang mulai padam.

Rian berdiri terengah-engah, menatap tangannya. Tangan yang baru saja mematahkan tulang semudah mematahkan ranting. Rasa jijik dan ngeri menyelimuti dirinya. Kekuatan ini... menakutkan. Bukan hanya bagi musuhnya, tapi juga bagi dirinya sendiri.

Olivia menatapnya, matanya tajam. Di wajahnya tidak ada rasa takut, melainkan campuran antara kekaguman dan kewaspadaan yang dalam. "Kekuatanmu... ia beradaptasi. Berevolusi di tengah pertarungan."

Ia berjalan melewati puing-puing, melangkah melewati tubuh si botak yang masih mengerang. "Kita harus pergi. Sekarang," katanya dengan tegas. "Bos mereka tidak akan mengirim cecunguk lagi lain kali. Mereka akan mengirim seseorang yang serius. Dan kita tidak bisa berada di sini saat itu terjadi."

Rian menelan ludah, mencoba menenangkan getaran di tangannya. "Pergi ke mana?"

"Mencari satu-satunya orang yang mungkin bisa mengerti apa yang terjadi padamu, atau setidaknya cukup kuat untuk melindungimu dari konsekuensinya," jawab Olivia, sambil mengambil sebuah tas kecil dari balik rak yang masih berdiri. "Kita akan mencari Gene. Kita akan mencari si pewaris God Hand."

More Chapters