Selama ribuan tahun menurut persepsinya, Kael'Zar melayang dalam kehampaan, beradaptasi dengan tubuh barunya. Ia belajar mengendalikan energi yang meluap, menenangkan badai plasma di dalam dirinya, dan memfokuskan kekuatannya. Kehampaan menjadi gurunya, keheningan menjadi ruang meditasinya.
Akhirnya, ia mulai bergerak, melesat menembus kegelapan dengan kecepatan yang melampaui cahaya. Ia melewati nebula-nebula gas yang belum membentuk bintang, melintasi gugusan materi gelap yang kelak akan menjadi galaksi. Alam semesta ini masih muda, mentah, dan liar. Belum ada Virtual Universe Company, belum ada aliansi Ras Manusia, Mesin, atau Serangga. Hanya ada entitas-entitas purba seukuran planet yang tertidur dalam keheningan kosmik.
Setelah perjalanan yang terasa abadi, ia menemukan titik cahaya pertama yang stabil. Sebuah planet.
Planet itu bermandikan cahaya dari bintang raksasa biru di dekatnya. Permukaannya adalah lautan magma yang bergejolak, dan atmosfernya dipenuhi badai plasma yang dahsyat. Gravitasinya ratusan kali lebih kuat dari Bumi. Bagi makhluk biasa, ini adalah neraka.
Bagi Kael'Zar, ini adalah surga. Ini adalah tempat yang sempurna.
Ia mendarat, kakinya menyentuh batuan panas yang langsung meleleh di bawah tekanan auranya. Badai plasma menyambutnya, tetapi hanya terasa seperti belaian hangat di kulitnya. Di sini, di dunia yang penuh kekerasan dan energi murni ini, ia merasakan sesuatu yang telah lama hilang: perasaan memiliki rumah.
Ia menamai planet ini Sol'Korr, Inti dari Matahari.
Di sinilah ia akan memulai warisannya.