Langit terlalu biru. Itulah pikiran pertama Rian saat kesadarannya kembali. Kepalanya berdenyut hebat, dan rasa pasir memenuhi mulutnya. Ia mencoba bangkit, menepuk-nepuk celana jinsnya yang kotor, dan memandang sekeliling.
Gurun. Sejauh mata memandang, hanya ada gurun tandus, kaktus-kaktus aneh yang seolah menyeringai, dan jalan tanah yang berkelok-kelok menuju entah ke mana. Di kejauhan, sebuah kota kecil dengan bangunan bergaya Spanyol yang bobrok tampak seperti fatamorgana.
"Oke, ini bukan kos-kosan gue," gumamnya pada diri sendiri. Hal terakhir yang ia ingat adalah tertidur di depan laptopnya setelah semalaman suntuk mencoba menamatkan kembali game klasik favoritnya, God Hand.
Tiba-tiba, suara tawa yang melengking dan menyebalkan memecah keheningan. Dari balik sebuah batu besar, tiga pria muncul. Penampilan mereka... konyol. Yang satu kurus kering dengan rambut mohawk pirang, yang satu gempal dengan rompi kulit dan tanpa baju, dan yang terakhir memakai topeng gulat Lucha Libre berwarna ungu.
"Hei, lihat apa yang kita punya di sini!" seru si mohawk. "Turis tersesat! Dompetmu, sekarang!"
Rian menghela napas. Dirampok di tengah antah berantah oleh sekelompok badut. Sempurna. "Dengar, aku tidak punya apa-apa. Aku sendiri tidak tahu ada di mana."
Si gempal tertawa terbahak-bahak. "Dia bilang dia tidak punya apa-apa! Kalau begitu, kita ambil saja sepatumu!"
Tanpa peringatan lebih lanjut, si gempal menerjang maju. Rian, karena refleks, mengangkat tangannya untuk menahan. Ia mengira lengannya akan patah atau setidaknya terdorong mundur.
DUK!
Yang terjadi selanjutnya di luar dugaan. Tubuh si gempal yang besar itu terpental ke belakang seolah menabrak dinding beton, mendarat dengan keras di atas pasir. Si mohawk dan si pegulat ternganga. Rian sendiri menatap telapak tangannya dengan bingung. Rasanya... tidak sakit sama sekali. Lengannya bahkan tidak bergetar.
"Apa-apaan itu?!" pekik si pegulat.
"Dia pasti punya semacam trik!" teriak si mohawk, kini lebih marah daripada takut. Ia mencabut pisau dari sakunya dan berlari ke arah Rian.
Waktu seolah melambat bagi Rian. Ia bisa melihat kilatan pisau yang bergerak ke arah perutnya dengan sangat jelas. Ia bisa melihat ekspresi marah di wajah si mohawk. Tanpa berpikir, ia melangkah ke samping. Gerakannya terasa ringan dan cepat, lebih cepat dari yang pernah ia lakukan seumur hidupnya.
Pisau itu hanya menggores udara kosong. Rian, masih dalam gelombang adrenalin dan kebingungan, mendorong bahu si mohawk saat pria itu lewat.
Dorongan ringan. Seharusnya hanya membuat pria itu kehilangan keseimbangan.
Namun, si mohawk terbang beberapa meter ke samping, menabrak sebuah kaktus dengan suara gedebuk yang memuakkan dan langsung pingsan.
Kini hanya tersisa si pegulat. Wajahnya di balik topeng tampak pucat. Ia menatap kedua temannya yang terkapar, lalu menatap Rian dengan gemetar.
"M-monster..." bisiknya, sebelum berbalik dan lari tunggang langgang menuju kota.
Rian berdiri sendirian, napasnya terengah-engah bukan karena lelah, tapi karena syok. Ia menatap kedua tangannya lagi. Kuat. Cepat. Tapi... tidak sekuat itu, kan? Rasanya seperti mimpi.
Ia meninju udara dengan pelan. Tidak ada yang terjadi. Ia mencoba melompat. Lompatannya memang sedikit lebih tinggi dari biasanya, mungkin sekitar satu setengah meter, tapi tidak sampai bisa melompati gedung.
"Kekuatan apa ini?" tanyanya pada langit biru yang bisu.
Di kejauhan, di jalan setapak menuju kota, ia melihat siluet seseorang berjalan santai. Seorang pria dengan jaket kulit cokelat, celana jins, dan lengan kanan yang... entah kenapa, tampak bersinar samar di bawah terik matahari. Pria itu berhenti sejenak, melirik ke arah Rian dan dua perampok yang tergeletak, lalu mengangkat bahu dan melanjutkan perjalanannya.
Rian tidak tahu siapa pria itu, tapi ia punya firasat kuat bahwa perjalanannya di dunia aneh ini baru saja dimulai. Dan untuk bertahan hidup, ia harus segera mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada tubuhnya.