Mimpi yang Tumbuh di Lapangan
Lapangan latihan Gelora Bung Karno sore itu terasa berbeda. Rumputnya masih basah oleh hujan semalam, tapi semangat para pemain Timnas Indonesia U-23 membara.
"Ini tahun kita," kata Rama, kapten tim, dengan tatapan penuh keyakinan. "AFC U-23 bukan sekadar turnamen. Ini kesempatan kita menulis sejarah."
Di pinggir lapangan, pelatih Coach Arman meniup peluit keras-keras. "Cepat! Sprint! AFC tidak menunggu pemain yang lambat!"
Dari tribun kosong, hanya suara sepatu menendang bola dan napas berat para pemain yang terdengar. Tapi di balik lelah, ada mimpi besar yang tumbuh.Mimpi membawa merah putih lebih tinggi dari sebelumnya
Hari pertandingan tiba. Stadion penuh, bendera merah putih berkibar di mana-mana. Sorakan "INDONESIA! INDONESIA!" menggema, membuat bulu kuduk merinding.
Peluit pertama berbunyi. Pertandingan dimulai.
Indonesia melawan tim kuat Asia. Bola berpindah cepat, tensi tinggi. Setiap kali Indonesia menyerang, stadion meledak oleh sorakan. Setiap kali lawan mendekati gawang, stadion terdiam.
"Umpan ke kiri! Ke kiri!" teriak Rama di lapangan, mencoba menembus pertahanan.
Peluang demi peluang tercipta. Bola membentur tiang. Kiper lawan menepis tendangan maut. Waktu terasa berjalan lebih cepat dari biasanya.
Skor menunjukkan 1-0 untuk lawan. Waktu tersisa hanya beberapa detik. Semua penonton menahan napas.
Peluit panjang terdengar.Pertandingan berakhir. Indonesia kalah.
Stadion mendadak sunyi. Hanya terdengar isak tangis dari tribun. Di lapangan, beberapa pemain terdiam mematung, beberapa menutup wajah dengan jersey mereka.
Rama berlutut di rumput, kepalan tangannya menghantam tanah."Maafkan kami…" bisiknya, air mata menetes di pipinya.
Ruang ganti terasa sunyi seperti kuburan. Bau keringat bercampur bau rumput basah.
Bima, kiper muda, menunduk dalam-dalam."Itu salahku. Aku gagal menahan bola terakhir," katanya dengan suara serak.
Coach Arman menatap para pemainnya. "Anak-anak, jangan salahkan diri sendiri. Kalian sudah berjuang. Sepak bola memang kadang kejam."
Tapi kata-kata itu tak cukup meredakan luka di hati mereka.Di pojok ruangan, Rama menatap jersey merahnya, bertanya dalam hati,"Apakah kami sudah cukup? Apakah kami mengecewakan semua orang?"
Di luar stadion, suporter tetap menunggu. Mereka menyanyikan lagu-lagu dukungan meski air mata menetes di pipi mereka.
Di rumah-rumah, jutaan orang Indonesia menatap layar TV dengan campuran rasa kecewa dan bangga.
Di Twitter, Instagram, dan media sosial, ribuan komentar masuk:"Kami tetap bangga.""Kalian sudah berjuang.""Bangkitlah, Garuda Muda."
Bagi para pemain, itu seperti pelukan tak terlihat, mengingatkan mereka bahwa mereka tidak sendirian.
Keesokan harinya, Timnas U-23 berdiri di depan wartawan. Wajah mereka masih muram, mata mereka sembab.
Kapten Rama mengambil mikrofon."Saya mewakili tim meminta maaf kepada seluruh masyarakat Indonesia. Tapi ini bukan akhir. Kami berjanji akan kembali… lebih kuat, lebih tangguh, dan membawa merah putih lebih tinggi."
Kata-kata itu disambut tepuk tangan, meski hati semua orang masih perih.
Dan di situlah cerita ini berakhir—bukan dengan kemenangan, tapi dengan sesuatu yang lebih besar: janji untuk bangkit.