Bab 2: Bukan Kita yang Salah
"Boleh duduk sebentar?" tanya Liam.
Naira mengangguk. Mereka duduk berdampingan, tanpa bersentuhan, tanpa kata yang berlebihan. Hanya suara jangkrik dan angin yang jadi saksi.
"Aku… selalu kagum caramu memegang keyakinan," ucap Liam. "Dan kadang aku iri, karena kamu tahu arah hidupmu."
Naira tersenyum samar. "Tapi hati tak selalu searah dengan jalan."
Liam menatapnya. "Kamu tahu perasaanku, kan?"
Naira menunduk. Diamnya adalah jawaban. Tapi matanya, yang mulai berkaca, adalah pengakuan yang tak diucapkan.
"Kalau aku bilang aku ingin bersamamu, walau berbeda keyakinan?" bisik Liam.
Air mata jatuh di pipi Naira. "Maka cinta itu akan menyakitimu. Dan akan menghancurkan aku."