Cherreads

Chapter 3 - Cinta di Balik Jendela Kedai Kopi

Bab 3 – Kopi Pertama dan Pertanyaan yang Tertunda

Hana tidak pernah membayangkan, bahwa pria yang selama ini hanya ia lihat dari jendela akan benar-benar berdiri di hadapannya, di dalam kedainya yang hangat dan kecil.

Adrian.Itulah nama yang ia sebut. Dengan suara pelan, tenang, namun memiliki kejelasan yang tak bisa ditolak.

Ia mengenakan jaket panjang berwarna gelap, sedikit basah terkena hujan. Tapi ekspresinya tetap hangat, sehangat uap dari gelas kopi yang baru dituangkan.

Kopi Tanpa Daftar Menu

"Kamu mau pesan sesuatu?" tanya Hana, berusaha terdengar biasa saja.

Adrian menatap papan menu. Lama. Tapi akhirnya berkata, "Sesuatu yang manis, tapi pahit di akhir. Seperti… pagi yang terlambat."

Hana terkekeh kecil. "Kamu penyair atau pelukis?"

"Sedikit keduanya," jawabnya sambil menatap meja dekat jendela. "Tapi lebih sering diam saja."

Hana menyiapkan kopi racikannya — campuran espresso dan sirup vanila, dengan sedikit taburan kayu manis. Ia tidak tahu kenapa memilih itu, hanya… intuisi.

Ia menyajikannya tanpa nama.

"Ini. Aku panggil… 'Kopi Adrian'. Pahit di belakang, manis di awal."

Adrian tersenyum pelan. "Lucu, aku justru merasa sebaliknya tentang hidupku."

Percakapan Pertama

Mereka duduk berseberangan. Di luar, hujan mulai berhenti. Tapi dunia di dalam kedai seolah tidak ingin buru-buru mengejar waktu.

"Aku menggambarmu sejak hari pertama kamu buka tirai," kata Adrian, jujur.

Hana hampir tersedak kopinya.

"Kenapa?" tanyanya, lebih penasaran daripada terkejut.

"Karena kamu diam. Tapi tetap kelihatan hidup. Itu… sulit ditemukan."

Hana menunduk pelan, memeluk cangkirnya. Tak ada yang pernah berkata seperti itu padanya. Banyak orang bilang ia pendiam, tertutup, kadang membosankan.

Tapi Adrian… melihat kehidupan dari keheningan.

Pertanyaan yang Tertunda

Saat obrolan mereka mengalir, Hana merasa satu pertanyaan menempel di tenggorokannya, belum sempat ia ucapkan.

"Apa kamu sendirian?"

Bukan sekadar status. Tapi tentang hidup. Tentang jiwanya.

Namun sebelum pertanyaan itu terucap, suara notifikasi dari ponsel Adrian memecah momen.

Ia melihat layar sebentar, dan raut wajahnya berubah. Tipis. Tapi cukup jelas bagi Hana.

Adrian berdiri pelan. "Maaf. Aku harus pergi. Tapi… boleh aku kembali besok?"

Hana menatapnya, lalu mengangguk. "Aku akan tetap buka jendela jam tujuh empat belas."

Adrian tersenyum — kali ini dengan sedikit rasa sedih.

"Kalau begitu… aku akan tetap jadi pria yang menggambar dari kejauhan. Tapi semoga, tidak terlalu jauh lagi."

More Chapters