Angin pagi bertiup pelan saat dua kelompok berdiri saling memandang di lapangan kecil desa. Di satu sisi, pasukan asing berseragam gelap dan perlengkapan misterius. Di sisi lain, warga desa dengan pakaian sederhana dan tatapan waspada.
Sesepuh desa, lelaki tua bertongkat batu hijau, berdiri di depan. Mulutnya mulai bergerak, menyampaikan sesuatu dalam bahasa yang terdengar seperti nyanyian datar bercampur dengungan.
Lerkov hanya bisa diam. Ia menatap, mencoba mencerna, namun tak satu pun kata yang bisa dimengerti.
“Gimana?” bisik Erwang.
“Kayak campuran bahasa kuno... tapi aneh. Kayaknya bukan dari sistem bahasa Bumi manapun,” jawab Shin dari radio.
Sesepuh itu mengulangi satu kata beberapa kali:
“Dvaran… dvaran...”
Nilan, yang berdiri di samping Lerkov, melangkah maju dengan tangan diangkat tinggi.
“Halo! Nama aku Nilan!”
Semua warga langsung saling lirak-lirik. Suasana hening.
Sesepuh mengangkat alis, lalu menunjuk Nilan.
“Nilan?”
Nilan senyum lebar. “Iya! Itu aku.”
Sesepuh lalu menyentuh dadanya pelan. “Rho’dan.”
Nilan meniru. “Rho’dan... ohh! Nama kamu?”
Sesepuh mengangguk pelan.
Para warga mulai berbisik, beberapa anak kecil terlihat penasaran, bahkan ada yang nyaris senyum.
Lerkov langsung nangkep momen ini.
Ia ikut menyentuh dadanya. “Lerkov.”
Erwang juga. “Erwang.”
Satu per satu anggota tim mulai menyebutkan nama mereka, dan perlahan… warga desa mulai membalas dengan nama masing-masing.
“Gila... Nilan bisa jembatan bahasa tanpa ngerti satu kata pun,” gumam Erwang dengan kagum.
“Anak-anak kayak dia... emang beda,” jawab Lerkov sambil senyum kecil.