Dari balik tumpukan jerami dan pagar bambu tua, mata-mata warga desa mulai mengintip ke arah orang-orang asing berseragam aneh yang baru saja keluar dari hutan.
Wajah-wajah tak dikenal, pakaian hitam pekat dengan garis-garis yang rapi. Postur tegak. Langkah percaya diri.
“Siapa mereka…?” bisik seorang wanita paruh baya sambil memeluk anaknya.
“Apakah mereka dari kerajaan lain?” sahut seorang kakek dengan suara parau. “Tapi tak ada lambang kerajaan di pakaian mereka...”
“Mungkin penjajah?” tukas seorang pemuda yang mulai meraih kapak kayu di pinggir rumah.
"apa ini…” kata seorang ibu sambil cepat-cepat menutup jendela.
“Lihat, itu anak kecil di tengah-tengah mereka. Apa mungkin mereka bukan pasukan biasa?”
“Tapi hei… pakaian mereka. Rapi. Bersih. Apakah… bangsawan?”
“Bangsawan mana yang datang bawa benda aneh begitu?” tunjuk seorang lelaki ke arah senjata para marine. “Itu senjata kah? Atau... alat sihir?”
Suasana di desa mulai tegang. Warga berkumpul pelan-pelan di belakang rumah-rumah, beberapa membawa senjata seadanya—cangkul, tongkat, dan alat berburu.
“Kita harus siap. Kalau mereka datang dengan niat buruk… desa ini gak punya benteng.”
Sementara itu di sisi tim Stygian…
Lerkov tetap berdiri di depan. Nilan menggenggam tangannya, matanya melihat ke arah para warga yang mulai muncul perlahan dari balik rumah.
“Mereka takut…” bisik Nilan.
Lerkov mengangguk. “Wajar. Tapi kita akan tunjukkan kalau kita tidak datang untuk menaklukkan.”
Dari sisi kanan, Erwang berbisik pelan, “Kalau mereka nyerang duluan?”
“Kita bertahan. Tapi tidak diharuskan membunuh mereka.” Mata Lerkov tajam menatap ke arah sesepuh desa yang berjalan perlahan ke arahnya.