Cherreads

Chapter 13 - Bab 11

Hening malam itu seakan berkonspirasi menyembunyikan segalanya. Cahaya bulan menyelinap dari balik awan, menerangi wajah Putri yang penuh cemas. Di tangannya, ponsel terus berdering—namun tak juga ada jawaban dari Aulia.

"Ini udah lebih dari dua jam sejak Aulia terakhir aktif. Chat nggak dibalas, telpon nggak diangkat. Ini bukan dia banget," ujar Putri, matanya basah.

Al berdiri tak jauh darinya, rahangnya mengeras. "Aulia bukan tipe orang yang tiba-tiba menghilang tanpa kabar, kecuali ada yang nggak beres."

Fajar, yang ikut bersama mereka, membuka satu map yang ia bawa. "Gue udah tracking lewat IP terakhir Zoom akun majlis. Ada aktivitas login aneh tadi sore, dari lokasi yang nggak biasa—dekat kawasan bangunan tua."

"Dekat bekas gudang kayu?" tanya Al, cepat.

Fajar mengangguk. "Bisa jadi itu tempat mereka jebak Aulia."

Tanpa banyak bicara, Al mengambil jaketnya dan memasukkan senter kecil, pisau lipat, dan tas kecil berisi perlengkapan darurat. "Kita cari dia sekarang."

***

Mobil mereka melaju menembus malam, melewati jalan sempit yang tak lagi beraspal. Pepohonan tinggi di kiri kanan menambah kesan sunyi. Putri duduk di belakang, memeluk tas Aulia yang tertinggal di basecamp tadi siang.

"Kenapa harus Aulia yang ditarget?" gumam Putri lirih.

"Karena dia yang paling tenang… yang paling dipercaya. Dan yang paling berani bicara soal kebenaran," jawab Al singkat, matanya tetap fokus ke depan.

Sesampainya di lokasi, mereka turun. Gudang tua itu sunyi. Pintu belakangnya terbuka sedikit—mencurigakan. Al memberi isyarat dengan jari.

"Maju pelan. Fajar, kau ambil kanan. Putri, di belakangku."

Begitu mereka masuk, aroma kayu lapuk dan debu menyambut. Fajar menyorotkan senter ke lantai. "Ada bekas gesekan… kayak sepatu diseret."

Al mendekat dan jongkok. Di bawah tumpukan kain tua, ia menemukan pita rambut ungu. "Ini milik Aulia."

Suara Putri tercekat. "Ya Allah…"

Tiba-tiba dari arah atas, terdengar dentingan rantai. Semua refleks menoleh ke arah loteng tua yang remang. Suara itu disusul oleh langkah… dan kemudian—hening kembali.

"Dia di atas," bisik Al. "Kita naik… sekarang."

Tangga tua menuju loteng berderit setiap kali diinjak. Al memimpin, diikuti Fajar dan Putri yang kini mulai gemetar, antara takut dan marah. Di balik remang cahaya, loteng itu hanya berisi rak tua, jendela kecil pecah, dan…

"Aulia!" seru Putri, menahan tangis.

Di pojok ruangan, Aulia duduk bersandar ke dinding dengan tangan terikat dan mata yang masih sembab. Suaranya lirih, "Putri… Al…"

Al langsung memotong tali yang mengikat tangan Aulia, lalu memeriksa keadaannya. "Kamu nggak apa-apa? Ada yang nyakitin kamu?"

Aulia menggeleng pelan. "Dia cuma bilang… ini pelajaran karena kami terlalu lantang di jalan hijrah…"

Sebelum mereka sempat bertanya lebih jauh, suara langkah terdengar dari tangga bawah. Cepat, tenang, penuh percaya diri.

Arfan muncul dengan senyum sinis. "Cepat juga kalian sampai."

Al berdiri, menghadang di depan Aulia. "Arfan… cukup. Kamu sudah terlalu jauh."

Arfan tertawa pelan. "Lucu, ya… orang yang paling banyak aib masa lalunya sekarang sok bersih, jadi mentor hijrah."

Putri menatap Al, bingung. "Maksudnya apa?"

Arfan melangkah ke depan. "Kamu belum cerita ke mereka, Al? Bahwa dulu kamu yang paling rusak? Yang bikin banyak orang kecewa? Termasuk… aku."

Al menatapnya tajam. "Aku nggak pernah menutupi masa laluku. Tapi aku juga nggak izinkan siapa pun menjadikannya senjata untuk menginjak orang lain yang baru belajar bangkit."

Aulia berdiri pelan, meski tubuhnya lemas. "Kenapa kamu tega, Arfan? Ini bukan tentang Al. Ini tentang majlis… tentang dakwah."

"Karena kalian terlalu percaya dengan wajah hijrah yang polos," bisik Arfan. "Padahal kalian nggak tahu, semua ini cuma topeng."

Fajar maju. "Kalau kamu terluka oleh masa lalu, balasannya bukan dengan melukai orang yang sedang memperbaiki diri."

Al mendekat. "Aku memang pernah jatuh. Tapi itu bukan alasan kamu ngerusak yang sekarang. Kalau aku harus mundur biar kamu berhenti ganggu mereka, aku mundur. Tapi lepaskan semuanya dari drama ini."

Arfan menatap Al lama. "Kamu masih seperti dulu. Selalu jadi tameng."

Lalu, ia melangkah mundur dan berkata, "Permainan belum selesai, Al. Ini baru permulaan."

Dia menghilang dalam gelap, meninggalkan pertanyaan besar: siapa sebenarnya Arfan… dan apa yang dia tahu soal masa lalu Al yang belum terungkap?

Malam itu, setelah Arfan pergi, suasana menjadi hening. Aulia yang masih lemas duduk di sofa, sementara Al menatap kosong ke arah jendela. Putri dan Fajar saling bertukar pandang, bingung bagaimana mengurai benang kusut yang baru saja terurai.

"Aku harus cerita semuanya," ucap Al akhirnya, suaranya berat. "Tentang masa laluku, tentang Arfan."

Putri mengangguk, "Kami siap mendengar, Al. Kita di sini bersama, bukan?"

Al menarik napas panjang. "Dulu, sebelum aku menemukan jalan ini, aku adalah anak yang tersesat. Aku salah memilih teman, salah langkah. Arfan dulu sahabatku, tapi dia selalu membawa aku ke jalan gelap."

Aulia menggenggam tangan Al, "Tapi kamu berhasil keluar, dan itu yang penting."

Al tersenyum tipis. "Benar. Tapi bukan mudah. Arfan selalu membayangiku, bahkan saat aku mencoba berubah. Dia merasa dikhianati, dan sejak itu mulai menyebar fitnah, mengganggu hidupku dan orang-orang yang aku sayangi."

Fajar membuka ponselnya, "Kita harus kumpulkan bukti semua teror ini. Jangan biarkan dia terus menguasai narasi."

Putri menatap Al, "Kita juga harus kuat, Al. Aulia juga sudah melalui banyak hal. Kita harus saling menguatkan."

Al menatap ketiga sahabatnya dengan mata penuh harap. "Ini bukan cuma tentang aku atau Arfan. Ini tentang kita semua yang sedang berjuang di jalan ini. Kita harus tetap teguh."

Suara dering telepon memecah kesunyian. Al mengangkat, wajahnya berubah serius.

"Ini siapa?" tanya Putri waspada.

Al mendengar suara di ujung telepon, kemudian berkata pelan, "Kau pikir ini sudah selesai? Aku belum selesai dengan kalian."

Al menutup telepon dan menghela napas dalam. "Arfan tidak akan berhenti. Ini baru permulaan."

Malam itu, tekad mereka semakin kuat. Bersama, mereka akan melawan bayang-bayang masa lalu, menjaga hijrah, dan membangun masa depan yang lebih baik.

Keesokan harinya, sinar matahari menerobos jendela, menyinari ruang tamu tempat mereka berkumpul. Suasana masih tegang, tapi ada semangat baru yang mulai tumbuh.

Al berdiri, menatap kedua sahabatnya dan Aulia yang duduk berdekatan. "Kita tidak bisa terus bertahan dalam ketakutan. Ini bukan hanya tentang aku dan Arfan, tapi tentang keselamatan kita semua."

Putri mengangguk mantap, "Kita harus bersatu, jangan biarkan dia memecah belah kita."

Fajar menambahkan, "Aku sudah menghubungi beberapa teman untuk membantu menyelidiki lebih jauh siapa sebenarnya di balik akun-akun palsu dan teror ini."

Aulia, meski masih lemah secara fisik, menyatakan dengan suara pelan tapi tegas, "Aku mungkin masih trauma, tapi aku ingin maju bersama kalian. Kita tidak boleh mundur hanya karena teror dan fitnah."

Al tersenyum haru, "Kalian benar. Kita harus bangkit, menjaga majlis ini, dan saling menguatkan."

Tiba-tiba ponsel Al bergetar. Pesan masuk dari nomor yang belum dikenal.

"Jika kalian ingin tahu kebenaran, datanglah ke tempat ini malam ini," tertulis singkat.

Al menatap keempat sahabatnya, "Ini mungkin jebakan, tapi ini juga kesempatan kita untuk mengakhiri semua ini."

Putri menggenggam tangan Aulia, "Kita bersama. Kita hadapi ini bersama."

Mereka bertiga saling bertukar pandang penuh tekad. Malam nanti bukan hanya ujian keberanian, tapi juga ujian kesetiaan dan ikatan persahabatan mereka.

Malam yang penuh bahaya menanti, dan hanya yang berani yang akan selamat.

More Chapters