Cherreads

Chapter 2 - chapter 2

Warisan Canggah Raiman

Malam itu, Jepara terasa lebih sunyi dari biasanya.

Angin laut datang dari arah utara, membawa aroma asin garam, debu jalanan, dan sedikit wangi sisa bakaran ikan dari warung sebelah.

Di kamar kos sempit ukuran dua kali tiga meter, Adipati Soesilo duduk termenung di tepi ranjang reyot.

Kipas angin di pojokan berputar malas, menimbulkan suara kriek-kriek seolah ikut gelisah.

Di atas meja kayu lapuk, tergeletak benda kecil berwarna keemasan — batu aneh yang ia dapat dari kakek misterius di pasar sore tadi.

Batu itu… seolah hidup.

Kadang berdenyut pelan, kadang memantulkan cahaya lembut seperti jantung yang berdetak dalam sinar redup.

Adipati menatapnya lama.

Rasa takut, kagum, dan bingung bercampur jadi satu.

“Batu apaan sih, iki?” gumamnya.

Ia mendekatkan wajah, menatap lebih saksama.

“Warna’e kaya emas, tapi panasnya aneh. Mosok batu hidup?”

Setiap kali ia mencoba memejamkan mata, ada suara asing berbisik di telinganya.

Lirih… tapi jelas.

Seperti nyanyian dari masa yang tidak dikenal, dari lidah yang mungkin sudah lama punah.

“Lha iki piye, opo aku keracunan debu pasar?”

Ia menutup telinga dengan bantal, tapi bisikan itu semakin nyaring.

Nada suaranya bergetar, seperti gabungan doa dan peringatan.

Akhirnya, karena lelah dan pusing, Adipati tertidur dalam gelisah.

 

Dalam mimpinya, ia berdiri di tengah padang pasir luas.

Langit di atas berwarna jingga kelam, dan angin bertiup kencang membawa debu emas yang berkilau di udara.

Hembusan angin terasa berat, seperti mengandung rahasia ribuan tahun.

Dari balik kabut yang menari, muncul sosok lelaki tua berjubah putih.

Rambutnya panjang, matanya menyala bagai bara, tapi tak ada amarah di sana — hanya wibawa yang menenangkan.

“Aku Canggah Raiman,” katanya, suaranya dalam dan berat, bergema dari segala arah.

“Darahku mengalir dalam dirimu, Adipati Soesilo.”

Adipati mundur setapak, jantungnya berdegup cepat.

“Siapa sampean, Kek? Apa maksud semua ini?”

Sosok tua itu mengangkat tangannya perlahan, pasir di sekeliling mereka berputar seperti ombak.

“Aku adalah leluhurmu. Dahulu, dunia mengenalku sebagai Mertogunobrenggeh… sang pengubah debu menjadi emas.”

Adipati melongo.

“Lho, jenenge aja udah serem. Tapi serius, ngubah debu jadi emas? Wah, iso kaya mendadak dong!”

Canggah Raiman tersenyum kecil, namun matanya sayu.

“Kekayaan itu membawa kutukan. Karena setiap emas yang tercipta… satu hal yang berharga akan hilang.”

Kata-kata itu seperti belati yang menembus dada.

Angin makin kencang, pasir berputar lebih liar, dan wajah lelaki tua itu mulai memudar, berganti dengan cahaya putih menyilaukan.

“Apapun yang kau sentuh akan menjadi emas,” lanjutnya, suaranya menggema makin jauh.

“Tapi ingat, cucuku… tidak ada cahaya yang lahir tanpa membakar bayangan.”

Debu di sekitar Adipati berkilauan seperti bintang, lalu berubah jadi logam kuning keemasan.

Suara Canggah Raiman masih bergema, lembut tapi tajam.

“Setiap kilau emas adalah doa yang dibayar dengan kehilangan.

Setiap kemakmuran menyimpan luka yang tak terlihat.

Dunia akan bertekuk lutut pada sentuhanmu,

tapi hatimu… perlahan akan kehilangan wujudnya sendiri.

Sebab emas bukanlah anugerah, melainkan ujian —

tentang apa yang benar-benar kau anggap berharga.”

Cahaya makin terang, menyilaukan, hingga akhirnya semuanya gelap.

 

Adipati terbangun dengan napas memburu.

Keringat dingin mengalir di pelipisnya.

Ia menatap sekeliling — lampu kamar masih menyala redup, dan batu emas itu kini bergetar di atas meja.

Ia menelan ludah.

“Mimpi opo maneh iki…?”

Dengan ragu, ia mendekat. Batu itu tampak lebih terang dari sebelumnya, seolah sedang memanggil.

Tangan Adipati gemetar saat menyentuhnya.

Ia merasakan denyutan aneh, seperti jantung kedua di luar tubuhnya.

Tiba-tiba, suara berdesir halus terdengar — dan telapak tangannya terasa hangat.

Ia menatap tangannya yang berdebu, lalu dengan refleks menyentuh lantai tanah di bawah ranjang.

Butiran pasir menempel di telapak tangannya berubah warna — dari kusam menjadi kuning terang, hingga akhirnya memantulkan cahaya logam murni.

Adipati ternganga.

Ia membeku, menatap tangannya yang kini menggenggam serpihan emas sungguhan.

“Waduh, Gusti…” bisiknya, nyaris tak terdengar.

Ia mencubit pipinya. Sakit.

“Berarti beneran?! Astaga… wong kayak aku kok malah dikasih kekuatan kayak gini…”

Ia terkekeh gugup.

“Lha ini bisa dijual, to? Bisa bayar kos, bisa traktir makan pecel lele tiap hari. Haha! Oalah, rezeki nomplok!”

Tapi belum sempat ia tertawa puas, udara di kamar mendadak berubah dingin.

Suhu turun drastis, napasnya sampai terlihat seperti uap.

Dari cermin di sudut ruangan, muncul bayangan samar.

Sosok berjubah putih itu lagi — tapi kali ini tidak utuh.

Hanya pantulan wajahnya, tersenyum pelan.

Adipati terdiam.

Suara berat itu terdengar lagi, lembut tapi jelas.

“Setiap kekuatan membawa harga, cucuku… jangan lupa membayarnya.”

Lampu kamar berkelip, dan batu emas di meja berdenyut makin cepat.

Adipati mundur, matanya lebar.

“Astaga, kek… jangan nongol di cermin, to! Ngeri!”

Bayangan itu menatapnya dalam.

Senyumannya bukan marah, tapi… sedih.

Lalu perlahan memudar, meninggalkan kabut tipis di permukaan kaca.

Adipati terpaku cukup lama, sampai akhirnya ia menjatuhkan diri ke ranjang.

Ia menatap langit-langit yang bolong, menghela napas berat.

“Ya Tuhan, ini beneran kekuatan atau kutukan, sih? Tapi kalau bisa bayar utang, ya disyukuri dulu aja lah.”

Ia tertawa sendiri, tapi tawa itu getir.

Karena di dalam hatinya, ia tahu sesuatu berubah.

Jantungnya berdetak tak beraturan, dan di telapak tangannya, sisa debu emas masih bersinar samar.

Di luar, angin laut kembali berembus, membawa aroma asin dan bisikan yang tak bisa ia pahami.

Suara itu makin jelas — seolah berasal dari batu emas itu sendiri.

“Mulai malam ini, kau bukan lagi manusia biasa.”

Adipati menelan ludah.

“Wah… berarti aku superhero, dong?” katanya mencoba bercanda.

Tapi tak ada yang menjawab.

Yang ada hanya getaran halus dari batu itu, berdenyut seirama dengan jantungnya sendiri.

Di sudut kamar, cermin yang tadi sempat buram kini kembali bening.

Namun jika diperhatikan baik-baik… ada bekas tapak tangan emas yang menempel di sana, samar tapi nyata.

Malam itu, Adipati Soesilo sadar — hidupnya takkan pernah sama lagi.

Ia tak tahu apakah kekuatan ini rezeki atau malapetaka, tapi satu hal pasti…

warisan darah Canggah Raiman telah bangkit.

Dan di luar sana, di antara bisikan angin Jepara yang asin,

sebuah suara tua tertawa lirih ...

tawa yang menandai awal dari takdir yang belum selesai ditulis.

More Chapters