Hujan datang lagi, tetapi kali ini berbeda dari hari-hari sebelumnya.
Tetesannya lembut, menyejukkan, seperti menari di udara.
Liam berdiri di halaman sekolah, menatap langit abu-abu yang meneteskan air.
> “Kau datang tepat waktu,” suara familiar terdengar dari belakang.
Zahra berdiri dengan payung kecil di tangan, rambutnya basah tapi wajahnya tetap cerah.
> “Tepat waktu? Kau selalu lebih cepat dari aku,” Liam berseloroh sambil tersenyum.
“Aku cuma ingin memastikan kau tidak kehujanan sendirian,” jawab Zahra sambil melangkah mendekat.
Liam menerima payung itu, tapi tidak menutupnya.
> “Kau tahu,” ia mulai, “hujan ini terasa berbeda hari ini.”
“Kenapa berbeda?” tanya Zahra.
“Karena aku ingin momen ini abadi. Seperti kita,” jawab Liam, menatap mata Zahra yang berkilau.
Mereka berjalan menyusuri halaman sekolah, hujan menetes di sekeliling mereka, tapi tidak ada yang peduli.
> “Aku senang kau ada di sini,” Zahra berkata lembut, menepuk bahu Liam.
“Aku juga. Kau bikin hujan terasa menyenangkan,” Liam tersenyum tipis.
---
Setelah sekolah, mereka menuju taman favorit mereka.
Pohon besar berdiri tegak, dedaunan basah namun tetap indah, seolah menunggu kehadiran mereka.
> “Ingat waktu pertama kita datang ke sini?” Zahra bertanya sambil duduk di bawah pohon.
“Tentu… kau pura-pura tersesat, tapi akhirnya berhasil menuntunku ke sini,” jawab Liam sambil tersenyum.
“Itu karena kau nggak mau kalah,” kata Zahra, menepuk tangannya lembut.
Hening sejenak. Hanya suara hujan, aroma tanah basah, dan bisik angin yang menemani mereka.
> “Liam,” Zahra akhirnya berkata pelan, “aku punya janji buat kau.”
“Janji apa?” tanya Liam, penasaran.
> “Apapun yang terjadi… aku akan selalu ada untuk kau. Dalam hujan, dalam gelap, dalam semua yang menakutkan. Kau tidak akan pernah sendirian.”
Liam terdiam. Jantungnya berdegup kencang.
> “Aku… aku janji juga, Zahra. Aku tidak akan biarkan apapun memisahkan kita. Kau… kau yang paling berarti bagiku.”
Zahra tersenyum, mata mereka bertemu, dan dalam sekejap dunia seolah berhenti.
Hujan yang menetes terasa seperti irama hati mereka sendiri—tenang, hangat, dan penuh makna.
---
Mereka berjalan lebih jauh ke dalam taman, tangan mereka saling menggenggam.
> “Suatu hari nanti, aku ingin kita bisa menatap hujan tanpa takut atau cemas,” kata Liam.
“Aku percaya itu bisa terjadi,” jawab Zahra. “Selama kau di sisiku, semuanya akan baik-baik saja.”
Dan mereka duduk di bawah pohon, melihat hujan menetes perlahan di dedaunan,
merasakan setiap tetes seolah menjadi saksi janji mereka.
> “Janji kita ini… harus abadi,” Liam berbisik.
“Abadi,” Zahra mengulang, menggenggam tangannya lebih erat.
Hujan semakin reda, dan sinar matahari sore menembus celah awan, menerangi wajah mereka.
Momen itu begitu sederhana, namun Liam tahu, janji itu akan menjadi cahaya yang membimbingnya kelak ketika dunia runtuh.
