Pagi itu, udara masih segar.
Aroma rumput basah dan tanah yang lembab menyapa Liam begitu ia keluar dari rumah.
Di depan gerbang sekolah, Zahra sudah menunggunya, tas punggungnya sedikit miring ke satu sisi, rambutnya digerai oleh angin.
> “Terlambat sedikit, Liam. Aku hampir pergi tanpa menunggumu,” goda Zahra sambil tersenyum.
“Hampir? Kau selalu menungguku,” Liam membalas sambil menepuk bahu Zahra.
Mereka berjalan bersama menuju kelas, melewati lorong panjang yang masih sepi.
> “Kau tahu,” Zahra mulai, “aku punya rahasia.”
“Rahasia apa?” Liam menoleh penasaran.
“Kalau aku bilang, kau gak boleh ketawa,” katanya sambil menatap serius.
Liam mengangkat alis.
> “Oke… aku janji.”
“Aku… suka nonton Liam nyasar di lab IPA,” kata Zahra dengan suara pelan tapi sulit menahan tawa.
Liam menatapnya kaget, lalu tertawa terbahak-bahak.
> “Kau itu sadis! Aku cuma sekali salah baca peta laboratorium!”
“Dan itu lucu!” Zahra tertawa sambil menepuk punggung Liam.
---
Di kantin, mereka duduk di meja pojok, memesan jajanan favorit masing-masing.
> “Kau tahu,” kata Zahra sambil menggigit roti isi, “aku senang punya teman seperti kau.”
“Teman? Kau serius?” Liam menatapnya curiga.
“Iya. Teman yang bisa diajak ribut, tapi tetap mau duduk bareng saat hujan turun.”
Mereka tersenyum dalam diam. Tidak butuh kata-kata banyak—kehangatan sudah terasa di antara mereka.
Namun, tiba-tiba, Zahra menatap jauh ke arah jendela. Ada sesuatu yang berbeda di matanya—sedikit kesedihan yang Liam belum pernah lihat.
> “Apa kau baik-baik saja?” tanya Liam.
“Aku cuma… kepikiran sesuatu,” jawab Zahra pelan, mencoba tersenyum lagi.
“Tentang apa?”
“Tentang masa depan. Kadang dunia ini terlihat terlalu besar buat aku,” katanya sambil menunduk.
Liam menaruh tangannya di atas tangan Zahra.
> “Kalau dunia terlalu besar, kita hadapi bareng-bareng. Kau gak sendiri.”
Zahra menatapnya lama, lalu mengangguk.
> “Aku tahu,” katanya lembut. “Makanya aku senang kau ada.”
---
Sore hari, mereka berada di taman dekat rumah Liam.
Pohon besar yang selalu menjadi tempat favorit mereka berdiri kokoh, dikelilingi dedaunan hijau yang bergoyang tertiup angin.
> “Ayo berlomba sampai pohon itu!” seru Zahra sambil berlari.
“Siap kalah lagi!” Liam membalas, dan mereka berlari bersama, tertawa lepas.
Setelah lelah, mereka duduk di bawah pohon itu.
> “Kau tahu, pohon ini seperti saksi hidup kita,” kata Liam.
“Iya… saksi semua tingkah konyol kita,” jawab Zahra sambil tersenyum.
Ada momen hening, tapi hangat. Mereka saling menatap, menyadari bahwa dunia terasa lebih ringan hanya karena mereka ada bersama.
> “Aku janji,” kata Liam lirih, “apapun yang terjadi, aku bakal jaga kau.”
Zahra menggenggam tangannya erat.
“Aku percaya,” jawabnya. “Dan aku juga janji, selalu ada buat kau.”
Di antara tawa dan bisikan janji itu, mereka tidak sadar bahwa waktu berjalan terlalu cepat. Matahari mulai turun, menciptakan cahaya oranye keemasan yang menutupi taman.
> “Lihat… langit seperti lukisan,” kata Zahra sambil menatap horizon.
“Ya… indah,” Liam menimpali.
Dan di sanalah, di bawah pohon tua itu, mereka tersenyum, tidak peduli dunia sekitar penuh masalah.
Hari itu, mereka hanyalah dua anak yang menemukan kebahagiaan di momen sederhana—tawa dan rahasia mereka sendiri.
