Cherreads

Chapter 8 - Bab 7 — Kilasan Cahaya

Pagi itu matahari baru saja menembus celah awan tipis, membiaskan cahaya ke halaman sekolah.

Liam duduk di bangku kayu, membuka tasnya, tapi matanya tidak fokus pada buku pelajaran. Ia menatap sekeliling, menikmati aroma tanah basah dan dedaunan yang masih lembab karena embun pagi.

> “Lagi bengong, ya?”

Suara lembut itu membuatnya tersentak. Ia menoleh, dan di sana, Zahra berdiri dengan senyum cerah, tas di punggung dan rambutnya sedikit berantakan karena dibiarkan angin pagi bermain.

> “Hei… kau muncul lagi. Bikin aku kaget.”

“Itu namanya surprise. Kelas hidup yang bikin kau tetap waspada,” jawab Zahra sambil meletakkan tasnya di samping Liam.

Liam tersenyum tipis. Ia selalu terhibur oleh cara Zahra bicara—ringan, tapi selalu punya maksud tersembunyi.

> “Kau selalu datang tepat waktu untuk hal-hal yang paling nggak penting.”

“Itu namanya konsistensi,” sahut Zahra. “Kau harus belajar sesuatu dari aku.”

Mereka tertawa bersama, dan tawa itu terasa seperti sinar pagi yang masuk ke relung hati Liam.

---

Di lapangan, mereka berlari kecil, saling salip dengan riang.

> “Kalah lagi!” teriak Liam, napasnya tersengal.

“Itu artinya kau harus lebih cepat! Jangan jadi anak malas!” Zahra membalas sambil tertawa.

Setelah beberapa menit, mereka duduk di rumput basah. Matahari sudah lebih tinggi, tapi sinarnya lembut, menyinari wajah mereka.

> “Aku suka momen kayak gini,” kata Liam pelan, menatap awan yang bergerak.

“Kenapa?” tanya Zahra.

“Karena dunia terasa sederhana. Hanya kau, aku, dan langit. Tanpa masalah besar, tanpa kesedihan.”

Zahra menunduk, tersenyum, lalu menepuk bahu Liam.

> “Kalau kau selalu berpikir begitu, kau bakal lupa bahwa hidup itu kadang ribet banget.”

“Mungkin aku senang ribetnya sama kau,” jawab Liam, membuat Zahra tersedak tawa kecil.

---

Mereka berjalan pulang setelah sekolah, melewati taman kecil dekat rumah Liam.

Di tengah taman, ada pohon besar yang selalu mereka gunakan sebagai tempat bertemu. Liam selalu merasa pohon itu seperti saksi bisu mereka—menyimpan tawa, rahasia, dan janji kecil mereka.

> “Ingat nggak, waktu pertama kita datang ke sini?”

“Tentu ingat. Kau pura-pura nggak bisa panjat pohon, tapi akhirnya bisa juga,” kata Zahra sambil tertawa.

“Itu karena kau bantu aku!” balas Liam, wajahnya merah.

Mereka duduk di bawah pohon besar itu, menikmati sejuknya udara sore dan aroma daun yang basah.

> “Aku senang ada kau di hidupku,” kata Liam lirih.

“Aku juga,” jawab Zahra sambil menggenggam tangan Liam. “Aku gak bakal biarin kau sendirian.”

---

Malamnya, mereka duduk di atap rumah Liam, memandang langit yang bertabur bintang.

> “Kau percaya kalau bintang itu doa orang-orang yang sudah pergi?” tanya Zahra.

“Aku gak tahu… tapi kalau kau bilang begitu, aku bakal percaya.”

“Kau selalu gampang percaya sama aku, ya?”

“Karena kau selalu benar,” jawab Liam, dan mereka tertawa bersama lagi.

Momen itu terasa hangat, lembut, dan abadi—seperti kilasan cahaya yang menembus dunia Liam yang sebelumnya kelabu.

> “Suatu hari nanti, aku pengen kita bisa lihat bintang bareng tanpa gangguan apa pun,” kata Liam.

“Janji?”

“Janji,” balas Zahra sambil tersenyum.

Hati Liam terasa ringan malam itu. Ia tahu, tidak peduli seberapa gelap dunia, ada satu hal yang selalu bisa ia percaya—Zahra.

More Chapters