Pagi itu udara terasa lebih dingin dari biasanya.
Kabut tipis menyelimuti halaman sekolah, membuat gedung-gedung terlihat seperti bayangan samar dari dunia lain.
Liam duduk di tangga belakang, memegang dua roti isi — satu sudah setengah dimakan, satu lagi masih utuh. Ia menunggu.
Dan seperti biasa, Zahra muncul. Terlambat, tapi dengan alasan yang selalu tidak bisa ia marahi.
“Aku lihat kucing yang lucu banget di jalan,” katanya sambil mengibaskan rambut yang basah oleh embun. “Aku berhenti cuma buat kasih dia nama.”
“Nama apa?”
“‘Kau’, karena dia juga susah diatur.”
Liam mendengus tertawa kecil dan menyerahkan roti kedua.
“Makan dulu sebelum kau kasih nama pohon juga.”
“Pohon udah punya nama.”
“Oh ya? Apa?”
“Diam.”
Zahra menggigit rotinya sambil menahan tawa.
Liam memperhatikan. Ada lingkar hitam di bawah matanya — samar, tapi cukup untuk membuat dadanya terasa berat.
“Kau gak tidur semalam?”
“Sedikit. Banyak yang kupikirin.”
“Tentang apa?”
“Tentang orang yang terus ngelawan meskipun dunia gak kasih alasan buat menang.”
Ia menatap Liam lama.
Liam menunduk, pura-pura sibuk dengan rotinya.
“Kau terlalu sering ngomong kayak novel motivasi, tahu gak?”
“Kalau hidupku novel, kau tokoh utama yang keras kepala,” balas Zahra cepat.
“Lalu kau?”
“Narator yang nyusahin, tapi gak bisa pergi dari cerita.”
Hari itu, Zahra tidak banyak bicara di kelas.
Ia menatap keluar jendela sepanjang pelajaran, matanya kosong tapi damai.
Guru beberapa kali menegur, tapi Zahra hanya tersenyum dan mengangguk.
Ketika bel pulang berbunyi, Liam menunggunya di depan gerbang.
“Kau kenapa hari ini?”
“Capek aja.”
“Kau sakit?”
“Enggak kok,” katanya dengan senyum yang aneh — bukan palsu, tapi juga bukan jujur.
Mereka berjalan tanpa banyak kata. Langit sore itu mendung, seperti sedang menyembunyikan sesuatu yang berat.
Di taman kecil dekat rumah, Zahra duduk di ayunan, sementara Liam berdiri di sampingnya.
Rantai ayunan berdecit pelan setiap kali Zahra bergerak maju mundur.
“Kau pernah mikir, kenapa manusia bisa tertawa padahal tahu hidup ini nyakitin?”
“Karena kalau gak tertawa, kita bakal gila,” jawab Liam.
“Atau mungkin karena di antara semua luka, kita masih pengen percaya kalau ada hal yang bisa disyukuri.”
Zahra menatap langit kelabu di atas.
“Aku suka langit kayak gini.”
“Serius? Gelap begini?”
“Iya. Karena langit gelap itu jujur. Dia gak pura-pura bahagia.”
Liam menatapnya. Ada sesuatu di balik kata-kata Zahra — sesuatu yang ia belum pahami sepenuhnya, tapi rasanya seperti perpisahan yang belum diucapkan.
Beberapa hari kemudian, Zahra absen lagi.
Kali ini, Liam tidak menunggu. Ia langsung datang ke rumahnya.
Ketika ibunya membuka pintu, ekspresinya tak seceria dulu. Ada lelah yang nyata di matanya.
“Zahra masih istirahat, Nak,” katanya pelan.
“Apa dia sakit serius?”
“Cuma butuh waktu untuk pulih.”
Tapi suara itu bergetar di akhir kalimatnya, dan itu sudah cukup menjawab semuanya.
Liam berdiri lama di depan rumah itu. Hujan turun pelan.
Tangannya mengepal di saku.
Untuk pertama kalinya, ia benar-benar takut kehilangan seseorang.
Malam itu, ponselnya bergetar.
Pesan dari Zahra.
“Maaf ya, aku gak sempat kasih tahu.”
“Aku cuma butuh waktu buat tenang.”
“Kau gak perlu cemas, aku masih suka hujan.”
Liam menatap pesan itu lama sekali, lalu membalas:
“Kau tahu, hujan selalu berhenti. Tapi aku gak pernah berhenti nunggu.”
Zahra tidak membalas malam itu. Tapi Liam merasa cukup — untuk sementara.
Keesokan harinya, Zahra muncul di sekolah.
Pucat, tapi tersenyum.
Ia duduk di sebelah Liam, membuka bukunya seperti biasa.
“Kau datang juga,” kata Liam.
“Aku janji kan, gak bakal pergi tanpa pamit.”
“Aku pikir kau...”
“Hei,” Zahra menatapnya lembut. “Aku masih di sini. Lihat?”
Liam menatap matanya lama. Di balik senyum itu ada sesuatu — sedih, tapi juga tenang.
“Zahra, apa pun yang terjadi... jangan hilang.”
“Aku gak bisa janji gak hilang,” katanya sambil menatap langit di luar jendela. “Tapi aku janji, aku gak akan benar-benar pergi.”
Mereka tertawa lagi hari itu.
Zahra menggoda, Liam menolak, dan dunia terasa ringan walau hanya sebentar.
Di sela tawa, Zahra sempat berbisik pelan:
“Kau tahu, Liam... setiap luka punya senyum yang menunggunya. Kita cuma perlu kuat sampai ketemu."
Malamnya, Liam menulis di buku catatan birunya:
“Senyumnya seperti cahaya di tengah luka.
Dan aku tahu, aku akan terus mencarinya — bahkan kalau dunia berhenti berputar.”
