Malam itu langit tidak seindah biasanya.
Awan menutupi bintang, dan hujan yang turun tidak lembut — ia jatuh seperti amarah.
Liam duduk di teras rumahnya, sendirian. Hujan memantul di ubin, dan dunia di depannya terasa terlalu sunyi untuk ukuran bumi yang masih berputar.
Ponselnya bergetar.
Satu pesan masuk:
“Kau di rumah?”
– Zahra.
Ia mengetik cepat, “Ya.”
Belum sempat ia tekan kirim, suara langkah cepat terdengar dari jalan depan.
Zahra muncul — basah kuyup, tanpa payung, tapi dengan senyum yang sama seperti biasa.
“Kau gila,” kata Liam sambil berdiri. “Hujan segininya, ngapain datang?”
“Aku bosen di rumah.”
“Kau bisa mati kedinginan.”
“Lebih baik mati karena dingin daripada mati karena gak ngelakuin apa-apa.”
Liam mendesah, menarik tangannya, menarik Zahra masuk ke bawah atap.
“Kau selalu kayak badai.”
“Dan kau selalu kayak batu — diem dan keras kepala.”
“Batu bisa hancur juga.”
“Tapi gak gampang hilang.”
Keduanya diam. Hanya suara hujan dan napas mereka yang terdengar.
Setelah beberapa menit, Zahra duduk di tangga, menatap hujan di depan.
“Aku suka hujan,” katanya pelan. “Dia jatuh, tapi gak pernah berhenti berusaha sampai akhirnya menyentuh tanah.”
“Dan setelah itu, dia hilang.”
“Enggak,” jawab Zahra cepat. “Dia berubah. Jadi sungai, jadi laut, jadi sesuatu yang lebih besar. Hujan gak hilang, cuma berganti bentuk.”
Liam menatap gadis itu.
“Kau selalu bisa nemuin hal baik di hal-hal yang nyebelin.”
“Itu karena aku udah sering lihat hal buruk, Liam. Jadi aku belajar nyari cahaya kecilnya.”
Nada suaranya berubah, lebih pelan.
“Kau tahu, kadang orang gak sadar kalau mereka juga rusak.”
“Kau bicara tentang siapa?”
“Aku... dan mungkin juga kau.”
Liam terdiam.
Zahra menunduk, matanya menatap jemarinya yang gemetar halus.
“Aku juga pernah ngerasa sendirian, Liam. Lama banget. Kayak dunia gak butuh aku.”
“Apa yang berubah?”
“Aku ketemu seseorang yang juga ngerasa kayak gitu. Tapi dia tetap berdiri. Dari situ aku belajar — kalau orang kayak dia bisa terus hidup, aku juga bisa.”
Liam sadar Zahra sedang bicara tentang dirinya. Tapi ia tak sanggup menjawab.
Hanya diam, dan dalam diam itu, ia merasa sesuatu di dadanya bergerak lagi — perasaan yang dulu sudah lama mati.
Beberapa hari kemudian, Zahra tidak masuk sekolah.
Hari pertama, Liam pikir mungkin ia sakit ringan.
Hari kedua, ia mulai gelisah.
Hari ketiga, ia pergi ke rumah Zahra.
Rumah kecil di ujung gang. Cat temboknya mulai pudar.
Seorang wanita membuka pintu — ibunya Zahra. Wajahnya ramah tapi lelah.
“Oh, kamu temannya Zahra, ya?”
“Iya, Bu. Saya Liam. Zahra gak masuk beberapa hari ini…”
“Dia istirahat dulu. Kelelahan,” jawab sang ibu singkat. “Tapi dia baik-baik aja.”
Namun tatapan matanya mengatakan hal lain — sesuatu yang disembunyikan di balik senyum tipis.
Liam ingin bertanya lebih jauh, tapi ia tahu tidak pantas. Ia hanya mengangguk sopan.
“Kalau begitu, sampaikan salam saya. Bilang… aku nunggu dia di atap sekolah.”
“Atap sekolah?” sang ibu tampak heran.
“Tempat favoritnya,” jawab Liam pelan.
Keesokan harinya, Zahra datang lagi.
Rambutnya diikat rapi, tapi wajahnya pucat.
Namun ia tetap tersenyum seperti biasa.
“Kau datang juga,” kata Liam, berusaha terdengar santai.
“Tentu. Aku gak mau melanggar janji kita, kan?”
“Kau sakit?”
“Sedikit. Tapi gak apa-apa.”
Liam tidak percaya, tapi tidak ingin memaksa.
Mereka naik ke atap, tempat mereka pertama kali membuat janji.
Langit hari itu abu-abu.
Zahra berdiri di tepi tembok lagi, menatap langit.
“Aneh, ya. Langit selalu kelihatan sama, padahal orang yang ngeliatnya selalu berubah.”
“Maksudmu?”
“Langit yang sama bisa kelihatan indah buat satu orang, tapi hampa buat orang lain. Tergantung siapa yang masih berani berharap.”
Ia menatap Liam, tersenyum samar.
“Kau masih punya harapan, kan?”
“Entahlah,” jawab Liam jujur. “Aku gak tahu gimana caranya berharap lagi.”
“Maka aku bakal terus ingetin kau,” kata Zahra, “sampai kau inget sendiri.”
Mereka duduk diam.
Angin dingin bertiup, tapi tak ada yang pergi.
Zahra menutup mata, menyandarkan kepala di bahu Liam.
“Terima kasih,” katanya pelan.
“Untuk apa?”
“Untuk gak pergi waktu aku hancur.”
“Aku juga hancur,” jawab Liam. “Mungkin kita cuma dua pecahan kaca yang kebetulan nemu pantulan masing-masing.”
Zahra tertawa kecil, suaranya serak.
“Kalau begitu, biar pecahan itu tetap berdampingan. Biarpun tajam, setidaknya kita saling ngelindungin.”
Hujan turun lagi malam itu.
Dan untuk pertama kalinya, Liam berdoa — bukan untuk dirinya, tapi untuk seseorang yang membuat langit kelihatan lebih hidup.
“Kalau dunia ini kejam, tolong jangan ambil dia,” gumamnya lirih. “Dia satu-satunya alasan aku masih percaya pada cahaya.”
