Cherreads

Chapter 4 - BAB 3 — Janji di Bawah Langit

Langit sore itu nyaris sempurna.

Warna oranye mencair menjadi ungu di pinggir awan, dan angin berhembus lembut membawa aroma tanah basah sisa hujan siang tadi.

Di atap sekolah, tempat yang sudah lama ditutup untuk siswa, dua anak nekat duduk bersisian sambil memandangi langit yang perlahan berubah gelap.

Liam menggenggam selembar kertas tugas yang setengah hancur tertiup angin.

Di sebelahnya, Zahra menatap ke horizon, kaki digoyang pelan di tepi tembok.

“Kau tahu,” kata Zahra pelan, “aku suka tempat tinggi.”

“Kenapa?” tanya Liam tanpa menoleh.

“Karena dari sini, semua kelihatan kecil. Bahkan masalah pun kelihatan kayak titik.”

“Kau bilang begitu karena kau gak takut jatuh.”

“Aku bukan gak takut jatuh. Aku cuma percaya, kalau aku jatuh, seseorang akan nangkap aku.”

Liam mengangkat alis.

“Dan siapa orang itu?”

“Mungkin... aku belum tahu.” Zahra menatapnya, tersenyum samar. “Mungkin dia belum sadar kalau dia orangnya.”

Liam cepat-cepat mengalihkan pandangan ke langit.

“Kau suka ngomong hal aneh.”

“Dan kau suka pura-pura gak paham.”

Suasana hening sebentar.

Angin malam mulai membawa dingin, tapi tak ada yang ingin pergi.

Dari bawah, suara dunia terdengar jauh: anak-anak bermain, mobil lewat, burung yang kembali ke sarang.

Liam tiba-tiba berkata lirih,

“Aku dulu sering datang ke sini sendirian. Tempat ini... satu-satunya tempat yang gak nuntut aku jadi siapa-siapa.”

“Dan sekarang?”

“Sekarang agak berisik,” jawab Liam setengah menggoda.

Zahra tertawa pelan,

“Bagus. Berarti aku berhasil ngerusak kesepianmu.”

Beberapa menit mereka hanya diam.

Langit kini gelap. Bintang pertama muncul — redup tapi tegas.

“Liam,” kata Zahra tiba-tiba, nadanya berubah lembut.

“Hm?”

“Kalau suatu hari dunia berubah, kalau segalanya terasa hancur… apa yang akan kau lakukan?”

“Aku gak tahu. Mungkin lari.”

“Dan kalau gak ada tempat buat lari?”

“Maka aku... berdiri. Sampai gak bisa lagi.”

Zahra menatapnya lama, lalu mengulurkan tangan.

“Kalau begitu, janji ya — kalau dunia ini jatuh, kita tetap berdiri bareng. Sampai akhir.”

Liam menatap tangan itu. Ragu sesaat.

Tapi entah kenapa, jantungnya berdebar kencang.

Ia menjabat tangan Zahra.

“Janji.”

Hening. Tapi dalam hening itu, ada sesuatu yang besar — tak terlihat, tapi nyata.

Langit malam seolah ikut mendengar.

Keesokan harinya, mereka duduk di taman sekolah, di bawah pohon yang sama seperti dulu.

Zahra menggambar sesuatu di buku catatannya: dua sosok kecil berdiri di bawah langit, di antara bintang.

Di bawah gambar itu ia tulis:

“Janji bukan soal kata, tapi keberanian untuk mengingatnya saat segalanya berubah.”

Liam menatap tulisan itu dan bergumam,

“Kau percaya sama hal-hal kayak gitu?”

“Aku harus,” jawab Zahra. “Kalau enggak, hidup ini cuma barisan kebetulan tanpa makna.”

Liam tak menjawab. Tapi di dadanya, janji sederhana itu mulai terasa seperti beban — bukan yang menekan, tapi yang memberi arah.

Beberapa hari kemudian, langit hujan lagi.

Mereka berjalan di trotoar dengan satu payung — kebiasaan yang jadi simbol tak tertulis di antara mereka.

Hujan turun deras, tapi langkah mereka pelan.

“Kau sadar gak,” kata Zahra, “kita gak pernah benar-benar ngomong soal masa depan.”

“Karena aku gak punya rencana.”

“Bohong. Semua orang punya, cuma takut ngomong.”

“Kalau aku ngomong, apa kau gak ketawa?”

“Coba aja.”

Liam menarik napas, lalu berkata dengan suara kecil,

“Aku cuma pengin bisa... jadi cukup kuat buat melindungi orang yang aku sayang.”

Zahra berhenti berjalan.

Ia menatap Liam — dalam, penuh arti.

“Kau gak sadar, tapi kau udah mulai jadi orang itu.”

Liam menatap balik, tapi sebelum sempat menjawab, Zahra sudah berjalan duluan sambil tertawa,

“Ayo cepat, nanti hujannya makin deras!”

Malam itu, Liam tak bisa tidur.

Di kamarnya yang gelap, ia menatap langit lewat jendela.

Suara hujan seperti bisikan yang membawa kenangan baru.

Janji mereka, sederhana tapi membekas.

Ia menulis satu kalimat di buku catatannya:

“Aku gak tahu takdirku, tapi kalau dunia jatuh, aku ingin berdiri bersamanya.”

More Chapters