Matahari pagi menyelinap masuk melalui jendela ruang kelas. Suara langkah sepatu, gumaman murid, dan derit kursi memenuhi udara. Hari yang tampak biasa — setidaknya bagi semua orang, kecuali Liam.
Ia duduk di pojok belakang seperti biasa, menatap papan tulis tanpa fokus. Tulisan kapur guru hanya jadi coretan putih tak berarti di matanya.
Ia baru sadar sesuatu aneh ketika mendengar suara kursi di sampingnya ditarik.
“Kursi ini kosong, kan?”
Liam menoleh. Gadis itu lagi. Zahra.
Dengan wajah yang tampak selalu punya alasan untuk tersenyum.
“Kau... di kelas ini sekarang?”
“Yup. Aku pindah barisan. Guru bilang boleh.”
“Kenapa di sebelahku?”
“Karena kau kelihatan kesepian.”
Zahra duduk tanpa menunggu izin.
Buku catatan berwarna biru muda ia letakkan di meja, di samping tumpukan buku Liam yang sudah penuh coretan nihil makna.
Liam mendesah pelan.
“Kau gak harus repot. Aku gak butuh ditemani.”
“Lucu. Orang yang gak butuh ditemani biasanya paling butuh.”
Ia menatapnya, kali ini agak lama. Zahra menatap balik tanpa takut, matanya bening seperti orang yang sudah sering menatap luka tapi memilih tidak menunduk.
Saat jam istirahat, mereka duduk di bawah pohon dekat lapangan. Zahra makan roti isi cokelat, sementara Liam hanya menatap bekalnya yang belum disentuh.
“Kau gak makan?” tanya Zahra sambil mengunyah.
“Gak lapar.”
“Bohong.”
“Aku cuma... gak pengin aja.”
“Kalau kau mati kelaparan, aku gak mau tanggung jawab.”
“Kau bisa makan dua kali buat gantiin aku.”
“Atau aku bisa suapin kau langsung biar gak bisa nolak.”
Liam nyaris tersedak napasnya sendiri.
“Aku gak selemah itu.”
“Aku tahu,” jawab Zahra lembut. “Tapi kadang, yang kuat juga butuh diingatkan buat berhenti menyakiti diri sendiri.”
Suara angin melewati dedaunan.
Hening panjang di antara mereka bukan canggung, tapi tenang — semacam ketenangan yang baru terasa setelah lama berperang sendirian.
Hari berganti minggu. Entah bagaimana, Zahra selalu ada.
Di kelas, di taman, di perjalanan pulang.
Kadang hanya diam menemani. Kadang bicara tanpa henti tentang hal-hal sepele: bunga yang tumbuh di pot belakang sekolah, kucing liar yang ia beri nama “Profesor”, atau teori anehnya bahwa “manusia bisa menolak takdir kalau berani tersenyum di waktu yang tepat.”
Liam pernah bertanya,
“Kenapa kau terus di dekatku? Aku ini gak menarik.”
“Karena kau nyata,” jawab Zahra cepat.
“Dan itu jarang.”
Jawaban itu menancap di kepala Liam lebih dalam dari yang ia sadari.
Suatu sore, mereka pulang bersama. Langit mulai oranye. Jalanan sepi, hanya suara sepeda Zahra yang berderit ringan di samping langkah Liam.
“Aku sering mikir,” kata Zahra tiba-tiba. “Kalau dunia ini adil, semua orang bakal punya seseorang buat nyembuhin luka mereka.”
“Tapi dunia gak adil.”
“Iya, makanya aku mau sedikit curang.”
Liam menatapnya bingung.
“Curang gimana?”
“Dengan jadi orang itu duluan buatmu.”
Ia tertawa kecil. Tapi di balik tawa itu ada sesuatu — kesedihan yang samar, seperti seseorang yang tahu waktunya di dunia ini terbatas tapi memilih tidak menunjukkannya.
Liam menatapnya lama, lalu berkata pelan,
“Zahra, aku gak minta diselamatkan.”
“Aku tahu,” katanya, berhenti mengayuh sepedanya. “Tapi aku minta kau jangan berhenti mencoba hidup.”
Mereka berdiri di persimpangan jalan — satu ke arah rumah Liam, satu ke arah barat tempat matahari perlahan tenggelam.
Zahra tersenyum, melambai ringan.
“Sampai besok, Liam.”
“Iya... sampai besok.”
Tapi malam itu, Liam duduk di ranjangnya sambil menatap langit-langit, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa ingin benar-benar menunggu hari esok.
Keesokan paginya, ia tiba di sekolah lebih awal.
Bangku di sampingnya kosong.
Tapi di atas mejanya, ada selembar kertas lipat kecil. Tulisan Zahra, bulat dan rapi:
“Kau mungkin belum sadar, tapi dunia ini mulai berubah waktu kau berhenti menyerah.”
– Zahra.
Liam membaca kalimat itu berulang kali.
Dan untuk pertama kalinya, ia menulis sesuatu di buku catatannya yang selalu kosong.
Bukan angka.
Bukan tugas.
Hanya satu kalimat:
“Mungkin aku belum kuat, tapi aku punya alasan untuk mencoba.”
Hari-hari berikutnya berlalu dengan keanehan kecil.
Liam mulai memperhatikan hal-hal yang dulu ia abaikan — cahaya pagi, suara hujan di atap, bahkan tawa teman-temannya.
Zahra terus hadir, seperti bagian dari hidup yang tidak bisa dihapus.
Kadang ia muncul hanya untuk mengatakan satu kalimat aneh:
“Hidup bukan soal siapa yang paling kuat, tapi siapa yang gak berhenti percaya.”
Atau
“Kalau kau gagal, berarti kau masih hidup.”
Liam tak lagi menolak kehadirannya. Ia mulai bicara, tertawa, bahkan marah tanpa takut ditinggalkan. Karena Zahra tidak pernah pergi.
Malam itu, ketika hujan turun lagi seperti hari pertama mereka bertemu, Liam menatap jendela kamarnya dan tersenyum sendiri.
“Kau gadis paling aneh yang pernah aku temui,” gumamnya pelan.
“Tapi mungkin… aneh adalah hal terbaik yang pernah terjadi padaku.”
