Hujan turun deras di halaman sekolah yang hampir kosong.
Air menetes dari atap seng, menimbulkan suara berirama seperti detak waktu yang enggan berhenti.
Di bangku kayu paling pojok, seorang anak laki-laki duduk sendirian dengan kepala tertunduk — seragamnya basah, kertas ulangan di tangan mulai luntur tintanya.
Namanya Liam.
Nilainya jelek lagi. Dan untuk kesekian kalinya, ia merasa dunia terlalu cepat berputar tanpa memberi kesempatan untuk bernapas.
Ia menatap tanah, suaranya lirih,
“Kenapa aku selalu gagal, bahkan untuk hal sekecil ini…”
Langkah kaki ringan terdengar di belakangnya.
Seorang gadis datang membawa payung dan dua minuman dingin di tangan. Seragamnya juga sedikit basah, tapi wajahnya penuh cahaya aneh — hangat dan hidup, seperti orang yang menolak tenggelam dalam kesuraman dunia.
Zahra.
Dia berhenti di depan Liam, menatapnya dari balik payung.
“Kau tahu gak, hujan ini kayak hatimu.”
Liam mendongak pelan, wajahnya datar.
“Lembab dan gak berguna?”
Zahra tersenyum — senyum yang pelan tapi tajam.
“Enggak. Cuma butuh sedikit cahaya buat kelihatan indah.”
Ia menyerahkan salah satu minuman dingin itu. Liam ragu menerima, tapi tangannya bergerak sendiri.
“Minum ini, biar hidupmu gak sepahit nilai matematikamu.”
Liam menatap minuman itu, lalu menatap gadis aneh di depannya.
“Kau siapa, sih?”
“Zahra. Kelas sebelah. Yang sering kau kira gak ada.”
Liam berusaha menahan tawa kecil, tapi gagal. Untuk pertama kalinya hari itu, bibirnya membentuk senyum tipis.
“Kau datang cuma buat bilang itu?”
“Nggak. Aku datang karena kau kelihatan kayak seseorang yang butuh diselamatkan, tapi gak mau minta tolong.”
Hujan terus turun. Tapi entah kenapa, dunia terasa sedikit lebih hangat.
Liam menatap langit yang abu-abu, lalu kembali pada Zahra yang berdiri di sampingnya.
“Kau gak takut basah?”
“Aku udah kehujanan sejak lama,” jawab Zahra ringan. “Tapi yang penting sekarang, jangan biarin dirimu tenggelam sendirian.”
Payung Zahra cukup kecil. Tapi ia menunduk sedikit, menutupi kepala Liam.
Mereka berdiri berdua di bawah hujan yang sama, dengan satu payung dan dua hati yang perlahan menemukan ritme yang sama.
Saat bel tanda akhir sekolah berbunyi, hujan pun reda.
Zahra menatap langit dan berkata pelan,
“Lihat, bahkan langit tahu kapan harus berhenti menangis.”
Liam menatapnya, tidak berkata apa-apa.
Tapi dalam hati kecilnya, sesuatu yang lama tertidur mulai bergerak — halus, seperti cahaya kecil di dasar gelap yang tak pernah ia sadari masih hidup.
Hari itu, Liam tidak tahu bahwa pertemuan sederhana di bawah hujan itu akan mengubah segalanya.
Bahwa gadis yang berdiri di sampingnya, yang tersenyum dengan payung kecilnya, akan menjadi alasan kenapa ia suatu hari mampu menulis ulang semua realitas
