Cherreads

Chapter 3 - Kemana atasannya?

Gita terheran dibuatnya. Para tetangga James mendadak ramah, menyapa dan memberikannya sedikit hasil panen mereka.

Gita jelas melemparnya, membuat ulah lagi. "Apa-apaan! Hasil yang ga berkualitas kayak gitu ga bisa di makan!" dengan terengah emosi Gita pergi untuk mencari lahan yang bisa dia acak-acak.

"Aaaaaa!" pekik Gita terkesiap kaget saat tubuhnya melayang lalu kembali ke jalan di mana sebelumnya Gita lewati.

"Makasih ya, mang, sayurannya."

Gita pun sadar, yang memanggulnya ternyata suaminya. Setelah seharian hilang, tiba-tiba datang merusak harinya.

"Turunin!" amuk Gita yang membuat tetangga yang dilewati tersentak kaget, menggeleng samar melihat kelakuan anak gadis dari kota itu.

Tidak ada sopan santun, begitu urakan dan sungguh pembuat onar di desa yang biasanya damai ini.

James sebelumnya memunguti semua pemberian para petani di desa ini untuk Gita baru dia memanggulnya.

Hari ini James lebih cepat. Untung saja di kota tidak macet seperti biasanya, membuatnya kembali pulang dengan cepat.

"Sandal mahal gueeeee!" teriak Gita saat kedua sandalnya lepas karena rontaan.

"Nanti diambil, ga akan ada yang curi,"

"Apa? Jangan yakin, mereka pasti tahu itu benda mahal! Apa liat-liat!" amuknya pada remaja yang tengah berhenti bersepeda untuk melihat Gita yang heboh di panggul James.

***

"Mau pulang?" James menatap Gita yang terengah emosi, duduk di kursi kayu yang ada di depan rumah.

"Iya!" bentaknya.

James memejamkan mata saat telinganya berdengung. "Berubah, lebih sopan, lebih menghargai orang dewasa atau orang tua—"

"Buat apa? Ga berguna!" potongnya kesal. Wajahnya di tekuk.

James membenarkan lengan kaos Gita yang melorot mempertontonkan bahunya. Begitu bersih terawat, PR untuknya agar selamanya Gita terus sebening saat ini.

Tapi untuk sementara, dia harus mendidiknya di tempat yang sederhana ini. Agar bisa lebih menghargai hal-hal kecil.

Gita menoleh garang, menepis lengan James dan dengan sengaja menurunkannya hingga mempertontonkan sebelah bahu dengan tali bra.

Dengan sabar James membenarkannya lagi. "Ga baik, kita ga lagi di tempat bebas kesukaan kamu." ujarnya lembut.

Gita semakin kesal karena tidak ada amarah yang keluar dari James selama dia berulah di sini. Sudah hampir menyentuh sebulan padahal.

Gita menatap ke depan, di mana bebek dan ayam berbaur. Itu yang paling membuatnya jijik. Dia hidup bersama mereka.

Di pandangan Gita saat ini, semua yang dia lihat begitu buruk dan menghantuinya. Jika saja dia lebih membuka mata.

Ada banyak hal baik di dalam kesederhanaan itu. Salah satunya, di saat ada sisa nasi, tidak dibuang begitu saja. Mereka berbagi dengan hewan yang kelak bisa membantunya juga untuk tidak kelaparan.

Toh semua kotoran, akan terendap ke tanah dan kadang setiap jum'at selalu ada gotong royong membersihkan jalanan.

Di mata Gita semua kotor, padahal tidak seperti yang ada di pikirannya.

Gita berdiri, dia malah hendak membuka kaos yang di pakainya saking ingin terus memberontak.

James refleks memeluknya. Membuat telinga pria baik itu memerah alami saat bersentuhan dengan lawan jenis.

"Lepas!" amuk Gita.

James menahannya, mengangkat Gita dengan mudah dan memasukannya ke rumah.

"Di sini ga menjamin semua orang baik, ada preman yang bisa aja berniat jahat kalau liat kamu—"

"Bodo amat! Gue ga peduli!" rontanya.

Mimah yang tengah melipat pakaian menantunya yang selesai di jemur berhenti saat melihat Gita yang diangkut anaknya.

Kali ini ada masalah apa lagi? Membuat desa jadi gaduh semenjak Gita hadir.

"Ada apa?"

James tetap membawanya ke kamar. "Ga papa, bu. Aman." lalu masuk dan menutup pintu sebelum Gita kabur.

"Udah," James tetap memperlakukannya lembut. Menghadangnya untuk meraih pintu.

Istrinya itu keras kepala sekali.

"Liat ke belakang,"

Gita berhenti meronta dan melihat beberapa plastik besar. Dia semakin emosi, menatap James teramat marah.

"Lo ke kota!" Gita mendorong dan memukulinya.

James meringis pelan lalu terpaksa memeluknya, mengunci dua lengannya. Pukulannya cukup membuat sakit.

"Gue mau pulang!" kesalnya dengan bibir bergetar menahan kejengkelan. "Gue mau hidup sendiri! Kalau gue menjengkelkan, kenapa ga buang beneran aja?! Kenapa ga usir malah di penjara di sini!" isaknya kesal.

"Ga bisa," suara James begitu lembut, begitu sabar menghadapi tantrumnya Gita. "Udah ga bisa sendiri, ada suami sekarang. Kalau mau hidup di kota, berbuat baik di sini," bisiknya.

Rontaan mulai melemas walau tangis tetap tidak reda.

"Ada lilin aromatherapy, mau dinyalain?" James mengusap lembut kepala Gita.

Gita bagai kucing liar yang baru mendapatkan usapan. Diam tak bergerak. Dan memang benar.

Gita baru pertama kali diperlakukan selembut itu, padahal tingkah dia sangat menguras emosi mereka.

"Mau, hm?"

Gita mengangguk kecil, mulai menyeka air matanya. Dia ingin tahu juga apa saja di dalamnya. Apa ada makanan? Dia lapar.

James tersenyum samar melihatnya. Perlahan namun pasti, kelembutan dan perhatian pasti akan meluluhkan ketantruman Gita.

***

James kembali terkejut saat melihat Gita masuk begitu saja saat dirinya mandi. Padahal kemarin-kemarin dia berhasil menghadangnya dengan menguncinya.

Tapi kenapa hari ini dia kembali ceroboh.

"Nah, gini dong. Udah kebelet!" datar Gita dengan muka bantal dan rambut acak-acakan.

Dia berjongkok, buang air kecil begitu saja. Yang awalnya merasa jijik dan aneh dengan semua itu kini mulai mengabaikannya.

"Kemana atasannya?" James sudah membalut bawahnya dengan handuk sepinggang, bahaya jika Gita ingin pegang lagi.

"Sekalian mandi, kemarin belum. Ga nyaman," Gita melepas branya, membuat James refleks memalingkan wajahnya.

Telinga James sudah sangat terbakar.

"Yaudah, duluan." James hendak kabur namun di cekal Gita.

"Enak aja! Di sini ga ada mba, atau salon buat lulur! Bantuinlah!" kesalnya.

James memejamkan matanya, dia menyesal menuruti Gita untuk membeli lulur. Padahal pura-pura lupa bisa karena sudah lama memintanya. Saat Gita baru seminggu di sini.

"Apa?" James bersuara kaget namun pelan.

"Gue minta tolong ke ibu aja? Oke!" Gita dengan percaya dirinya hendak keluar dengan celana dalam saja. Sontak James cekal.

 

 

More Chapters