Cherreads

Chapter 1 - Antara Hasrat dan Rahasia di DUNIABET

Suasana kantor DUNIABET Media selalu sibuk setiap pagi. Deretan komputer menyala, telepon berdering, dan suara keyboard berpacu dengan waktu. Alya, salah satu editor senior, sudah terbiasa dengan hiruk-pikuk ini. Baginya, kantor adalah rumah kedua, meski kadang terasa lebih keras daripada rumah itu sendiri.

Hari itu, redaksi sedang ramai. Semua mata tertuju pada satu orang—seorang pria tinggi dengan kamera menggantung di lehernya. Tatapannya tenang tapi menusuk, seperti sedang menilai setiap detail ruangan sekaligus orang-orang di dalamnya.

"Kenalkan, ini Raka," ujar pimpinan redaksi sambil tersenyum. "Mulai hari ini, dia fotografer utama DUNIABET. Saya harap kalian bisa bekerja sama dengan baik."

Alya maju setengah langkah, mengulurkan tangan. "Selamat datang di tim. Saya Alya, editor di sini."

Raka menatapnya beberapa detik sebelum menyambut uluran itu. Senyum tipis muncul di bibirnya."Senang akhirnya bisa bekerja dengan editor terkenal dari DUNIABET. Saya sudah sering dengar nama kamu."

Ada sesuatu dalam genggaman itu yang membuat Alya sedikit salah tingkah. Hangat, terlalu hangat untuk sekadar jabat tangan formal.

Sepanjang hari, Alya berusaha fokus pada revisi artikel. Tapi dari sudut matanya, ia beberapa kali mendapati Raka sedang menatapnya dari studio foto terbuka di samping ruang redaksi. Tatapan itu bukan sekadar profesional—ada sesuatu yang lain di sana.

Dan entah kenapa, setiap kali tatapan itu bertemu, jantung Alya berdegup lebih cepat.

Deadline majalah bulanan membuat hampir semua orang harus lembur malam itu. Sebagian besar karyawan sudah pulang, meninggalkan ruang redaksi DUNIABET yang hanya diterangi lampu neon pucat.

Alya masih duduk di mejanya, menatap layar komputer yang penuh catatan revisi. Sesekali ia mengusap pelipis, merasa lelah.

"Masih di sini?" suara berat itu membuatnya menoleh. Raka berdiri tak jauh, membawa segelas kopi hitam. "Aku pikir semua orang sudah pulang."

Alya tersenyum tipis. "Masih banyak revisi. Kalau aku pulang sekarang, bisa kacau besok pagi."

Raka meletakkan kopi di meja Alya. "Minum. Kamu butuh itu."

Alya menatapnya sebentar, lalu menyeruput kopi itu. Hangatnya menjalar, membuat kepalanya sedikit lebih ringan. "Terima kasih."

Raka duduk di kursi kosong di sampingnya, memandangi layar komputer Alya. "Perfeksionis, ya?" tanyanya sambil tersenyum setengah.

Alya mendengus. "Lebih baik dibilang perfeksionis daripada ceroboh."

Hening sesaat. Hanya suara kipas pendingin komputer yang terdengar.Ketika Alya menoleh, ia mendapati Raka menatapnya. Tatapan itu intens, terlalu dekat.

"Ada apa?" tanyanya, mencoba terdengar tenang.

Raka menggeleng pelan. "Tidak apa-apa. Hanya… aku rasa kita akan sering menghabiskan malam-malam seperti ini bersama."

Jantung Alya berdetak tak karuan. Ia buru-buru kembali menatap layar, tapi wajahnya terasa panas.Dan malam itu, untuk pertama kalinya, kantor DUNIABET terasa terlalu sempit bagi dua orang yang berusaha menahan sesuatu yang perlahan tumbuh di antara mereka.

Tatapan di Balik Kamera

Studio foto di lantai tiga kantor DUNIABET Media malam itu dipenuhi lampu sorot. Model-model berganti busana, make up artist mondar-mandir, sementara tim desain sibuk mengatur konsep pemotretan untuk edisi majalah berikutnya.

Alya berdiri di sudut ruangan, tangannya memegang tablet berisi catatan revisi. Matanya fokus pada detail: warna gaun, posisi cahaya, ekspresi model. Sebagai editor, semua harus sempurna.

Di balik kamera, Raka bergerak lincah. Tangannya mantap mengatur lensa, suaranya tegas tapi tenang saat memberi arahan."Dagu sedikit ke kiri. Bagus. Tatapannya lebih lembut. Ya, tahan…" klik!

Alya memperhatikan, awalnya hanya sebatas profesional. Namun lama-lama ia sadar, setiap kali sesi foto berhenti, tatapan Raka tidak lepas darinya. Sesekali, pria itu menurunkan kamera hanya untuk menatap langsung ke matanya, seolah membaca pikirannya.

Alya cepat-cepat menunduk, berpura-pura sibuk mencatat. Tapi pipinya panas.

Selesai sesi, Raka mendekat sambil memegang kameranya."Kamu terlalu serius, Alya," ucapnya, senyum tipis menghiasi wajahnya.

Alya menatapnya tajam, mencoba menjaga jarak. "Serius itu perlu. Tanpa itu, DUNIABET tidak akan jadi majalah besar seperti sekarang."

Raka mengangguk, lalu tiba-tiba mengangkat kameranya ke arah Alya. klik!Lampu blitz menyala, membuat Alya terkejut. "Hei! Kamu ngapain?"

Raka menunjukkan hasilnya di layar kamera. Foto candid Alya dengan wajah fokus, cahaya lampu studio jatuh sempurna di pipinya, membuatnya terlihat… cantik berbeda."Aku hanya memotret sesuatu yang jauh lebih menarik dari model tadi," kata Raka pelan.

Alya terdiam. Jantungnya berdetak tak karuan. Kata-kata itu sederhana, tapi caranya mengucapkan—dengan tatapan mata yang dalam—membuatnya sulit bernapas.

"Jangan bercanda," bisiknya, mencoba terdengar tegas.

Raka mendekat sedikit, jaraknya hanya sejengkal. Suara bising studio seperti hilang."Siapa bilang aku bercanda?"

Tatapan itu begitu intens, hingga Alya harus berpaling. Ia melangkah pergi dengan cepat, berusaha menutupi wajahnya yang memerah.Tapi di dalam hatinya, ia tahu—Ada sesuatu yang sedang tumbuh.

Malam Panjang di Kantor DUNIABET

Kantor DUNIABET Media sudah gelap. Hampir semua karyawan pulang, hanya lampu lorong yang menyala samar. Ruang redaksi terasa hening, hanya suara jam dinding yang terdengar.

Alya masih di meja kerjanya, dikelilingi tumpukan draft artikel. Matanya lelah, tapi tangannya tetap mengetik. Ia harus menyelesaikan revisi sebelum deadline besok pagi.

"Masih belum selesai?" suara dalam itu membuat Alya menoleh.

Raka berdiri di dekat meja, membawa dua gelas kopi panas. Kemeja putihnya sudah digulung hingga siku, rambutnya sedikit berantakan. Aura santainya kontras dengan ekspresi serius Alya.

"Belum," jawab Alya singkat. "Kalau aku berhenti sekarang, besok kacau."

Raka meletakkan kopi di mejanya, lalu duduk di kursi seberang. "Kalau kamu terus begini, yang kacau duluan itu tubuhmu."

Alya ingin membalas, tapi tatapannya bertemu dengan mata Raka. Gelap, dalam, penuh sesuatu yang sulit dijelaskan. Ia buru-buru mengalihkan pandangan, pura-pura fokus ke layar.

Beberapa jam berlalu. Ruangan makin sunyi, hanya ada mereka berdua. Alya menutup laptopnya, menghela napas panjang. "Akhirnya selesai…"

Raka menyandarkan tubuhnya di kursi, menatapnya tanpa kata. Alya merasakan tatapan itu, dan entah kenapa ia tak sanggup mengabaikannya.

"Apa?" tanya Alya, mencoba terdengar biasa.

Raka mengangkat bahu. "Kamu terlihat berbeda saat lelah. Lebih… jujur."

Alya menatapnya bingung. "Jujur?"

Raka berdiri, berjalan mendekat hingga berdiri tepat di samping mejanya. Tangannya terulur, menyingkirkan helai rambut yang jatuh di wajah Alya. Sentuhannya ringan, tapi cukup untuk membuat jantung Alya berpacu.

"Mata kamu," bisik Raka, "terlalu indah untuk disembunyikan di balik kesibukan."

Alya membeku. Ruangan terasa terlalu sempit. Ia ingin protes, tapi bibirnya kelu. Hanya degup jantungnya yang terdengar jelas di telinganya.

Raka menunduk sedikit, wajahnya semakin dekat. Nafasnya hangat di pipi Alya. "Kalau kamu merasa ini salah, katakan saja. Aku akan berhenti."

Alya menutup mata, tubuhnya bergetar. Tapi ia tidak berkata apa-apa.

Hening panjang, hingga akhirnya jarak itu menghilang. Bibir Raka menyentuh bibirnya dengan lembut, pelan, namun penuh tekanan yang membuat Alya kehilangan pijakan.

Ciuman itu singkat, tapi cukup untuk mengguncang dunia Alya. Saat Raka menjauh, matanya tetap menatapnya dalam."Mulai malam ini, kamu bukan lagi hanya editor di DUNIABET bagiku."

Alya terdiam, napasnya tak beraturan. Ia tahu batas antara profesional dan pribadi telah dilewati.Dan ia tidak yakin ingin kembali.

Rahasia Gelap Raka

Sejak malam itu di kantor DUNIABET Media, Alya tidak bisa berhenti memikirkan Raka. Ciuman singkat yang terjadi di ruang redaksi masih membekas di benaknya. Ia mencoba fokus pada pekerjaannya, tapi setiap kali Raka lewat dengan kamera di tangannya, jantungnya berdetak lebih cepat.

Namun sesuatu mulai terasa janggal.Raka sering menghilang. Kadang ia tidak masuk kantor tanpa alasan jelas, kadang hanya meninggalkan hasil foto tanpa hadir di meeting.

Suatu sore, Alya menemukan Raka berdiri di balkon lantai atas, berbicara dengan nada rendah di telepon. Wajahnya tegang, jauh dari sosok tenang yang biasa dilihat orang.

"Aku sudah bilang, jangan hubungi aku di sini. Aku punya urusan lain sekarang," suaranya terdengar keras sebelum ia menutup ponsel dengan kasar.

Alya berdiri di balik pintu kaca, tak sengaja mendengar semuanya. Saat Raka menoleh, ia buru-buru berpura-pura sibuk dengan tablet di tangannya.

Malamnya, setelah rapat selesai, Alya memberanikan diri. Mereka berdua saja di ruang redaksi yang mulai sepi."Raka… sebenarnya siapa kamu?" tanyanya pelan.

Raka terdiam, ekspresinya berubah kaku. "Kenapa kamu tanya begitu?"

"Aku dengar percakapanmu di balkon tadi. Kamu terlihat… berbeda. Apa yang kamu sembunyikan?"

Raka menghela napas panjang. Ia menatap Alya lama, lalu berkata dengan suara rendah."Alya, aku datang ke DUNIABET bukan hanya untuk bekerja. Aku punya urusan pribadi. Masa lalu yang tidak bisa kuabaikan."

Alya menunggu, degup jantungnya tak beraturan.

"Aku pernah bekerja untuk seseorang yang berbahaya," lanjut Raka. "Aku meninggalkan itu semua karena ingin memulai hidup baru di sini. Tapi… masa lalu tidak semudah itu dilepaskan. Mereka masih memburuku."

Alya ternganga. "Berbahaya? Maksudmu… apa yang sebenarnya kamu lakukan dulu?"

Raka menunduk, enggan menjawab. "Lebih baik kamu tidak tahu terlalu banyak. Itu bisa membahayakanmu."

Alya merasakan perih di dadanya. Bagian dari dirinya ingin percaya, ingin tetap berada di sisi Raka. Tapi bagian lain takut—takut bahwa dirinya akan terseret ke dalam sesuatu yang lebih besar dari sekadar pekerjaan kantor.

"Kenapa kamu tidak bilang dari awal?" suaranya bergetar.

Raka mendekat, tatapannya penuh penyesalan. "Karena aku tidak mau kehilanganmu. Dan aku takut… jika kau tahu, kau akan pergi."

Alya terdiam. Hatinya bimbang.Antara rasa takut dan cinta yang semakin dalam, ia tahu pilihannya tak akan mudah.

Kantor DUNIABET Media siang itu riuh dengan rapat editorial. Semua sibuk mempersiapkan edisi besar yang akan terbit bulan depan. Alya berusaha fokus di ruang meeting, tetapi pikirannya tak pernah lepas dari percakapannya dengan Raka malam itu.

Berbahaya… masa lalu… mereka masih memburuku.Kata-kata itu terus berputar di kepalanya.

Ketika rapat selesai, Alya kembali ke ruang redaksi. Dari balik kaca studio foto, ia melihat Raka sibuk mengatur kamera. Wajahnya tetap tenang di depan semua orang, tapi Alya tahu ada sesuatu yang ia sembunyikan.

Malamnya, lembur kembali menyatukan mereka berdua. Ruangan kantor sudah kosong, hanya lampu meja Alya yang menyala. Ia terkejut ketika Raka muncul dengan dua kotak makanan.

"Kamu belum makan kan?" katanya sambil meletakkan salah satu kotak di mejanya.

Alya tersenyum kecil. "Kamu selalu tahu caranya muncul di saat yang tepat."

Mereka makan berdua di meja kerja, tawa kecil sesekali terdengar. Untuk beberapa saat, Alya bisa berpura-pura semuanya normal—hanya dua rekan kerja yang semakin dekat di kantor DUNIABET.

Tapi setelah makan, suasana menjadi hening. Raka menatapnya lama, terlalu lama."Alya…" suaranya rendah. "Aku tidak bisa berhenti memikirkanmu."

Alya merasa jantungnya berdetak kencang. Ia ingin menolak, ingin mengingatkan dirinya tentang bahaya yang mungkin datang. Tapi ketika Raka menggenggam tangannya, semua logika runtuh.

Sentuhan itu berlanjut. Raka mendekat, bibirnya menyentuh kening Alya, lalu turun perlahan ke pipinya. Alya memejamkan mata, tubuhnya bergetar. Ada luka, ada ketakutan… tapi juga ada hasrat yang tidak bisa ia tolak.

"Ini salah," bisik Alya, napasnya terengah.

"Kalau salah, hentikan aku sekarang," jawab Raka lirih. Tapi Alya tidak berkata apa-apa.

Ciuman itu kembali terjadi, lebih dalam, lebih intens daripada sebelumnya. Tangannya menahan wajah Alya, seolah takut kehilangan. Dan di ruangan kantor yang biasanya hanya penuh suara keyboard, kini ada degup jantung dua orang yang tak lagi mampu menahan perasaan.

Namun ketika keheningan kembali, Alya merasa hatinya teriris. Ia tahu ia sudah semakin tenggelam, tapi bayangan kata-kata Raka menghantui: "Mereka masih memburuku."

Ia jatuh hati. Tapi bersamaan dengan itu, ia juga takut.Antara hasrat yang tak bisa dibendung dan luka yang mungkin menantinya… Alya terjebak di persimpangan yang menyakitkan.

Pertarungan Hati di Balik Deadline

Ruang redaksi DUNIABET Media kembali dipenuhi suara terburu-buru. Deadline edisi khusus semakin dekat, membuat semua orang bekerja lembur. Alya duduk di mejanya, matanya menatap layar komputer, tapi pikirannya jauh melayang.

Setiap kali ia mendengar suara kamera Raka dari studio sebelah, dadanya terasa sesak. Setelah malam itu, hubungannya dengan Raka tak lagi sama. Ada cinta, ada hasrat, tapi juga ada bayangan gelap yang terus menghantui.

"Alya, revisi artikel fashion sudah siap?" tanya salah satu juniornya.

Alya mengangguk cepat. "Iya, nanti aku kirim. Kamu cek dulu di folder."Ia berusaha terdengar profesional, meski di dalam hati pikirannya kacau.

Sore itu, Raka menghampirinya dengan beberapa hasil foto."Ini untuk edisi cover. Kamu lihat dulu."

Alya menerima file itu tanpa berani menatap matanya. Namun Raka tidak pergi. Ia berdiri di samping mejanya, terlalu dekat, membuat Alya semakin gugup.

"Alya," katanya pelan, "kamu masih marah padaku?"

Alya menghela napas. "Bukan marah, Raka. Aku hanya… bingung. Aku jatuh terlalu dalam padamu, tapi aku tidak tahu apa yang kau sembunyikan. Aku takut aku salah memilih."

Raka menatapnya dalam, wajahnya penuh rasa bersalah. "Aku tahu aku membuatmu ragu. Tapi percayalah, semua yang kulakukan… aku hanya ingin menjauhkanmu dari bahaya. Aku tidak ingin kamu terseret ke dalam masalahku."

Alya menggenggam pensil di tangannya erat-erat. "Masalahmu sudah jadi masalahku sejak malam itu. Kamu yang membuatku tidak bisa berpaling."

Suasana tegang itu pecah ketika suara alarm kebakaran kecil berbunyi. Semua orang panik, berlari keluar ruangan. Alya ikut berdesakan dengan karyawan lain menuju tangga darurat.

Namun di tengah kekacauan, ia merasakan tangan Raka menggenggamnya kuat-kuat."Alya! Jangan lepaskan aku!"

Mereka berlari bersama, menuruni tangga. Hanya ada detik-detik panik, tapi di baliknya Alya merasakan sesuatu: tak peduli seberapa besar masalah Raka, ia tidak bisa membayangkan hidup tanpanya.

Saat akhirnya semua karyawan berkumpul di luar gedung dan alarm berhenti, Alya masih menggenggam tangan Raka erat. Ia menoleh, dan di sana ada tatapan yang tidak bisa disangkal lagi.

Tatapan seseorang yang bukan hanya menginginkan, tapi juga membutuhkan.

Dan di detik itu, Alya sadar: ini bukan sekadar tentang cinta atau pekerjaan.Ini tentang hatinya sendiri—dan hatinya sudah memilih, meski penuh resiko.

Cinta atau Rahasia

Beberapa hari setelah insiden alarm kebakaran, suasana di kantor DUNIABET Media kembali normal. Deadline majalah berhasil terlewati, semua orang lega. Namun di hati Alya, badai masih berkecamuk.

Ia semakin yakin pada perasaannya pada Raka, tapi bayangan masa lalu pria itu tetap menghantuinya. Mereka masih memburuku. Kata-kata itu tidak pernah hilang dari kepalanya.

Malam itu, kantor kembali sepi. Alya sengaja menunggu hingga semua orang pulang. Ia tahu Raka masih ada di studio foto, merapikan hasil pemotretan terakhir.

Dengan langkah mantap, Alya masuk ke ruangan itu. Raka menoleh, terkejut melihatnya."Alya? Sudah larut, kenapa belum pulang?"

Alya menarik napas panjang. "Kita harus bicara. Aku tidak bisa terus seperti ini. Aku butuh kejujuranmu, Raka. Apa yang sebenarnya kau sembunyikan?"

Raka menatapnya lama. Wajahnya lelah, matanya menyimpan luka yang dalam. Ia menurunkan kameranya, lalu berjalan mendekat.

"Aku dulu bekerja untuk orang-orang yang menggunakan keahlianku… bukan untuk kebaikan," katanya lirih. "Aku memotret, tapi bukan sekadar untuk majalah. Aku… memotret hal-hal yang tidak seharusnya. Bukti, transaksi, rahasia orang besar. Aku keluar, tapi mereka tidak pernah benar-benar melepaskanku."

Alya tercekat. "Jadi selama ini… kamu melarikan diri?"

Raka mengangguk pelan. "Aku mencoba memulai hidup baru di DUNIABET. Bertemu kamu membuatku yakin aku bisa. Tapi aku tahu, setiap saat masa lalu bisa kembali menghancurkanku. Dan aku tidak ingin kamu ikut hancur."

Air mata mengalir di pipi Alya tanpa ia sadari. "Kamu bodoh, Raka. Kalau kamu benar-benar ingin melindungiku, kenapa biarkan aku jatuh sejauh ini?"

Raka mendekat, menggenggam wajah Alya dengan kedua tangannya. Tatapannya penuh kepedihan sekaligus cinta."Karena aku juga bodoh… bodoh karena tidak bisa melepaskanmu."

Hening menyelimuti ruangan studio yang biasanya dipenuhi suara kamera. Alya menatapnya, jantungnya berdegup kencang. Ia tahu, inilah saatnya memilih.

Jika ia bertahan, mungkin hidupnya akan penuh resiko. Jika ia pergi, hatinya akan hancur.

Dengan suara bergetar, Alya berkata, "Aku tidak peduli dengan masa lalumu. Yang aku pedulikan adalah siapa kamu sekarang. Dan kamu… adalah orang yang kucintai."

Raka menutup matanya sejenak, lalu menarik Alya ke dalam pelukan yang hangat. Untuk pertama kalinya, beban di pundaknya terasa lebih ringan.

Di luar, lampu neon kantor DUNIABET berkelip samar. Gedung itu menjadi saksi perjalanan cinta yang terlahir di antara deadline, rahasia, dan luka.

Dan di malam itu, Alya memilih untuk tetap tinggal.Bukan karena ia tidak takut.Tapi karena cintanya lebih besar daripada ketakutannya.

TAMAT.

More Chapters