Cherreads

Chapter 1 - Darah di Air

Udara malam di distrik bawah Atlantis selalu dingin, tapi malam ini rasanya lebih menggigit. Ombak menghantam dinding pelabuhan, memercikkan air asin ke udara yang bercampur bau darah dan minyak kapal. Di kejauhan, pusat kota berkilau dengan cahaya kristal raksasa yang menembus air laut, seakan menertawakan kegelapan yang menutupi distrik kumuh ini.

Anubis Osiris berdiri di balik tumpukan peti kayu yang sudah lapuk, matanya yang berwarna emas madu menatap kapal besar yang baru saja merapat. Lambang naga laut bermahkota terukir di lambungnya, terpahat dalam logam hitam yang memantulkan cahaya. Setiap kali Anubis melihat lambang itu, kenangan masa kecilnya datang seperti gelombang pasang: suara teriakan ibunya, darah yang mengalir di lantai rumah, tawa kejam para bangsawan Dravemir.

Rantai sihir berpendar biru muda mengikat tangan dan leher para budak yang baru diturunkan. Mereka berjalan tertatih, kaki mereka terseret di papan kayu dermaga. Anak-anak kurus dengan mata kosong, wanita dengan tubuh penuh luka, pria yang kulitnya terbakar cambuk. Beberapa mencoba melawan, tapi setiap perlawanan dibalas oleh sengatan dari rantai yang membuat mereka jatuh mengerang.

Anubis menarik napas dalam, menahan amarah yang menggelegak di dadanya. Ia tidak boleh gegabah. Malam ini bukan malam untuk membalas dendam. Malam ini adalah malam untuk mengirim pesan.

Di dek kapal, tiga prajurit elit berdiri berjaga. Baju zirah mereka berkilau di bawah cahaya kristal laut. Dua di antaranya memegang tombak berujung sihir, sementara yang ketiga—yang berdiri paling depan—memiliki kehadiran yang tak bisa diabaikan. Tinggi, berbahu lebar, rambut pirang keemasan terikat rapi di belakang kepala. Mata abu-abu tajamnya menyapu dermaga seperti seekor elang mengawasi mangsanya.

Itu adalah Raviel Stormborn. Namanya sudah beredar di kalangan para budak yang berusaha melarikan diri. Katanya, dia tak pernah gagal menangkap targetnya, dan selalu mengembalikan mereka dalam keadaan hidup—agar bisa dieksekusi di depan umum.

Anubis memutar belati tuanya di tangan. Bilahnya berkilat samar, bukan karena kualitas logamnya, tapi karena diasah setiap hari. Ia mengintip dari balik peti, menghitung jarak. Raviel berdiri sekitar lima belas meter darinya, tapi di antara mereka ada dua prajurit lain dan puluhan budak yang dikawal. Serangan langsung bukanlah pilihan.

Lalu matanya tertumbuk pada seorang anak laki-laki di barisan budak. Anak itu kurus, rambutnya berantakan, tapi matanya—hijau dan tajam—memandang Anubis seolah mengenalnya. Bukan kenal secara pribadi, tapi mengenal jenis manusia seperti dirinya: seseorang yang tidak tunduk pada sistem ini.

Anubis mengangkat tangannya sedikit, membuat gerakan cepat dengan jarinya. Itu adalah bahasa rahasia jalanan, sinyal yang pernah ia gunakan saat memimpin pencurian makanan di pasar ketika masih kecil. Tunggu saatnya. Anak itu mengedip sekali, lalu menunduk lagi pura-pura lemah.

Sementara itu, Raviel memberi perintah singkat kepada prajuritnya.

"Bawa mereka ke sel bawah air. Pastikan kuncinya terpatri."

Suara Raviel datar, tapi tegas. Tidak ada emosi, tidak ada belas kasihan. Namun, saat dia melangkah, Anubis menangkap sekilas perubahan di wajahnya. Hanya sepersekian detik, tapi jelas—ada sesuatu di mata Raviel yang menyerupai keraguan.

Anubis mengingat wajah itu. Dia tahu keraguan bisa menjadi celah, dan celah bisa menjadi pintu masuk.

Dari kantong kulit kecil di pinggangnya, ia mengeluarkan segenggam pasir hitam bercampur bubuk tulang. Bau belerang tipis keluar dari bubuk itu. Ramuan ini dia pelajari dari mentornya di Hutan Kematian—jika dilempar, ia akan meledak menjadi kabut hitam yang membuat orang kehilangan penglihatan selama beberapa menit.

Namun, ia tidak melemparkannya. Bukan sekarang. Malam ini hanya awal.

Ombak menghantam lagi. Sorak tawa mabuk terdengar dari tenda hiburan di ujung dermaga, bercampur suara rantai yang berderak. Di tengah semua itu, Anubis tersenyum tipis—senyum yang dingin, tanpa kebahagiaan, hanya janji akan kehancuran.

Malam ini, Raviel Stormborn mungkin tidak tahu siapa Anubis Osiris. Tapi malam-malam berikutnya… dia akan tahu. Dan ketika hari itu datang, darah akan bercampur dengan air laut sampai sulit dibedakan.

Suara rantai sihir beradu satu sama lain menggema seperti nyayian neraka. Setiap langkah budak yang di paksa menuruni kapal adalah dentuman kecil yang menusuk telingan anubis. Iya pernah berada di sana. Iya tahu rasa sakit dari besi dingin yang menempel di kulit, rasa malu di perlakukan seperti barang, dan yang lebih buruk: rasa putus asa yang merayap di dalam jiwa, perlahan menggerogoti hingga tak tersisa selain kehampaan.

Namun, anubis berbeda. Iya tidak pernah membiarkan api di dalam dirinya padam, api itu kini menyala, membakar setiap urat nadinnya, menuntut balas dendam.

Seorang prajurit mendorong seorang wanita tua hingga jatuh tersungkur ke lantai dermaga. Budak budak lain terdiam, menunduk, takut ikut menerima hukuman. Darah segar menetes dari kening wanita itu, jatuh ke celah papan kayu dan larut bersama air laut.

Anubis merasakan jemarinya mengencang pada gagang belati. tubuh nya menegang nyaris melompat keluar dari tempat persembunyiannya, namun ia menahan diri. Dia tahu musuh nya bukan prajurit biasa yang kasar itu, melainkan sistem yang melindungi mereka, dan terutama keluarga, keluarga Dravemir yang menguasai segalanya.

Raviel Stormborn melangkah mendekat. Sepatutnya berderap mantap di atas papan kayu. Setiap langkah seperti gema otoritas. Dia berhenti di depan wanita tua yang masih berlutut, wajah nya mengangkat sedikit, menatap dengan mata abu abu yang tajam.

"Berdiri," katanya pendek.

Wanita itu gemetar, mencoba bangkit, tapi tubuh nya terlalu lemah. Raviel menghela napas, lalu mengisyaratkan prajuritnya. Salah satu dari mereka mengangkat wanita itu dengan kasar.

Bagi anubis, adegan itu timbul rasa campur aduk. Di satu sisi, Raviel tidak memukul atau menghinanya berbeda dengan prajurit lain. Tapi di sisi lain, sikap dingin Tampa emosi itu bahkan lebih kejam. Seolah olah penderita orang lain bukan lah apa apa, hanya bagian dari rutinitas.

Anubis mencatat setiap detail. Dia ingin mengenal musuh nya sebaik mengenal dirinya sendiri.

Dari balik peti kayu, seekor burung laut hitam hinggap, kepaknya membawa angin asin. Anubis menoleh matanya menyipit. Burung itu bukan sembarang burung. Ada gelang perak kecil di kaki nya, berukir lambang menara kristal. Itu adalah burung pesan para bangsawan.

Anubis mengerti maksudnya: sesuatu yang penting akan terjadi di distrik yang kumuh ini. Sesuatu yang melibatkan Raviel dan para budak baru.

Di dalam dirinya, suara mentornya dari Hutan Kematian bergema. "Dendam adalah pedang bermata dua, Anubis. Jangan ayunkan sebelum waktunya, atau kau yang akan mati tertikam."

Ia merogoh kantong kulit, jemarinya menyentuh butiran ramuan hitam itu lagi. Jantungnya berdegup keras. Ia tahu ini kesempatan untuk menguji kekuatan yang telah dia latih selama bertahun-tahun.

Sekilas, matanya kembali bertemu dengan anak budak berambut kusut itu. Anak itu menunduk, berpura-pura pasrah, tapi matanya terus melirik ke arah Anubis. Mereka berdua tahu sesuatu akan terjadi.

Anubis mengangkat tangannya sedikit, membuat gerakan samar. Bersiaplah.

Prajurit mulai menggiring para budak menuju gerbang besi besar di ujung dermaga, jalan menuju penjara bawah air. Gerbang itu berukir simbol-simbol kuno, sihir perlindungan agar tidak ada budak yang bisa kabur.

Raviel berjalan paling belakang, matanya tetap awas. Dia berbeda dari prajurit lain: tidak mabuk kuasa, tidak lalai, tidak sombong. Dia seperti bayangan baja yang terus siap menghantam.

Anubis tahu, bila ingin menguji dirinya, inilah saatnya.

Dengan gerakan cepat, ia melempar segenggam bubuk hitam ke udara. Dalam sekejap, angin laut membawa bubuk itu menyebar. Cahaya biru kristal yang biasanya menerangi dermaga redup, ditelan kabut pekat yang muncul tiba-tiba. Prajurit berseru panik, beberapa terbatuk, sebagian kehilangan arah.

"Bersiap! Ada penyusup!" teriak salah satu prajurit.

Budak-budak berteriak kecil, sebagian jatuh, sebagian mencoba melarikan diri dalam kebingungan.

Raviel berdiri tegap di tengah kekacauan itu. Matanya menyipit, berusaha menembus kabut. Tangan kanannya meraih pedang panjang di punggungnya. Cahaya perak bilah pedang itu berkilau samar, memantulkan aura sihir.

Anubis bergerak seperti bayangan, menyelinap di antara budak yang panik. Dengan cepat ia meraih rantai anak berambut kusut tadi, dan dengan satu tebasan belati, sihir di rantai itu terputus. Anak itu menatapnya dengan mata membelalak campuran takut, kagum, dan harapan.

"Lari," bisik Anubis lirih.

Anak itu mengangguk dan menghilang ke dalam kabut.

Sementara itu, Raviel berbalik. Suara pedangnya keluar dari sarung dengan bunyi logam yang menegaskan niat membunuh.

Anubis tahu, pertemuan ini tidak bisa dihindari lagi.

Kabut hitam menelan dermaga seperti mulut raksasa yang haus darah. Teriakan prajurit bercampur dengan suara rantai yang bergemerincing, langkah budak yang berlarian tanpa arah, dan deburan ombak yang semakin keras. Cahaya biru dari kristal penjaga meredup, tersedak oleh sihir hitam yang melayang di udara.

Di tengah kekacauan itu, dua sosok berdiri saling berhadapan.

Anubis, tubuhnya ramping namun berotot, rambut hitam panjang terurai seperti bayangan malam, mata emasnya berkilat tajam menembus kabut. Belati tuanya berkilau samar, masih basah oleh darah rantai yang terputus. Nafasnya stabil, meski seluruh tubuhnya tegang siap menerkam.

Raviel Stormborn, tegap dengan zirah perak yang memantulkan sisa cahaya. Rambut pirangnya yang terikat rapi bergoyang tertiup angin laut. Pedangnya sudah terhunus, bilah panjang yang bercahaya pucat, bukan sekadar baja biasa senjata yang ditempa dengan inti sihir kerajaan. Matanya abu-abu dingin, menatap Anubis bukan dengan kebencian, melainkan dengan kewaspadaan seorang prajurit yang tahu dirinya sedang berhadapan dengan sesuatu yang berbeda.

Kabut berputar di sekitar mereka, seakan takut mendekat.

"Jadi… kau penyusup itu," suara Raviel dalam, datar, tanpa keraguan. "Siapa pun kau, kau telah membuat kesalahan besar."

Anubis tidak menjawab. Dia hanya melangkah ke depan, bayangannya melebar di atas kabut. Belati di tangannya bergerak pelan, seperti lidah ular yang siap menyambar.

Raviel menyipitkan mata. "Kau bukan budak biasa. Matamu… penuh kebencian. Siapa namamu?"

Hening sejenak. Ombak menghantam dinding dermaga, memercikkan air asin.

Lalu, Anubis berbicara untuk pertama kalinya malam itu, suaranya rendah, serak, tapi penuh ancaman.

"Aku adalah akhir dari dunia lama. Kau boleh memanggilku Anubis."

Nama itu membuat Raviel sedikit menegang. Ia pernah mendengarnya dalam desas-desus—nama budak yang bertahan hidup di distrik kumuh, yang katanya dilatih oleh seseorang dari Hutan Kematian. Tapi mendengar langsung dari mulutnya membuat rumor itu berubah menjadi kenyataan.

"Anubis…" Raviel mengulang pelan, lalu mengangkat pedangnya. "Kalau begitu, mari kita lihat apakah namamu hanya omong kosong atau benar-benar berarti sesuatu."

Dan tanpa peringatan, Raviel menyerang.

Pedangnya meluncur dengan kecepatan luar biasa, membelah kabut menjadi dua. Anubis melompat ke samping, belatinya beradu dengan bilah panjang itu. Dentuman logam memecah udara, percikan api sihir terbang.

Benturan pertama saja sudah membuat tangan Anubis bergetar. Pedang Raviel lebih berat, lebih kuat. Tapi Anubis tidak gentar. Dengan gerakan cepat, ia berputar, mencoba menusuk ke sisi Raviel yang terbuka.

Namun Raviel bereaksi lebih cepat. Dia menangkis dengan satu gerakan sederhana namun penuh kekuatan, membuat Anubis terdorong mundur beberapa langkah.

"Cepat," gumam Raviel, "tapi terlalu ringan."

Anubis menyeringai, memperlihatkan gigi putihnya di antara wajah yang muram. "Kau belum melihat apa pun."

Ia menutup matanya sejenak, membiarkan kekuatan kegelapan di dalam tubuhnya bangkit. Udara di sekelilingnya mendadak mendingin. Kabut hitam yang ia sebarkan tadi mulai berputar mengikuti gerakannya, seakan tunduk padanya. Dari balik bayangan, muncul kilatan samar seperti cakar hitam yang ingin keluar dari tubuhnya.

Raviel menegang. Ia bisa merasakan aura itu bukan sihir biasa, melainkan sesuatu yang lebih tua, lebih liar, dan lebih berbahaya.

Anubis membuka matanya lagi. Emasnya kini berpendar, seakan terbakar dari dalam.

"Aku tidak butuh pedang indah seperti punyamu. Aku punya kegelapan."

Dia bergerak maju, belatinya meluncur cepat seperti kilat, sementara bayangan kabut mengikuti, membentuk ilusi yang membingungkan. Raviel berusaha menebak arah serangan, tapi Anubis bergerak tak terduga—seperti hewan buas yang memburu.

Bilah Anubis nyaris menyentuh leher Raviel. Tapi dengan refleks luar biasa, Raviel memutar pedangnya, menangkis, lalu menendang keras ke perut Anubis.

Tubuh Anubis terhempas mundur, menghantam tumpukan peti kayu hingga papan-papan berhamburan.

Budak-budak yang masih terikat menjerit, sebagian berusaha merangkak menjauh. Prajurit yang tersisa mencoba merapat, tapi kabut membuat mereka kehilangan arah.

Raviel menatap Anubis yang bangkit dari reruntuhan, wajahnya tetap datar. "Kau berbahaya… tapi kau masih mentah."

Anubis menghapus darah tipis dari bibirnya, lalu tersenyum dingin. "Mentah? Mungkin. Tapi ingat ini, Raviel setiap tetes darahku akan menjadi racun bagi dunia ini. Dan kau tidak akan bisa menghentikanku."

Kabut semakin pekat, suara teriakan budak semakin jauh, seakan dunia menyempit hanya untuk mereka berdua.

Pertarungan baru saja dimulai.

Kabut hitam menutup pandangan siapa pun yang ada di dermaga. Jeritan budak yang panik terdengar samar, bercampur dengan langkah prajurit yang kebingungan. Namun di tengah kekacauan itu, hanya dua sosok yang benar-benar ada Anubis dan Raviel, bagaikan dua bayangan yang ditakdirkan bertabrakan.

Anubis bergerak cepat, tubuhnya melesat dari sisi ke sisi, belatinya berkilat samar dalam kegelapan. Raviel menangkis setiap tebasan dengan presisi militer, gerakannya tegas dan efisien. Percikan api sihir terus meletup setiap kali kedua bilah itu beradu, cahaya singkat yang menyingkap wajah mereka yang penuh ketegangan.

"Cepat sekali," gumam Raviel di sela benturan. "Tapi kau bertarung dengan amarah. Amarah membutakan."

Anubis tertawa lirih, tawa yang lebih mirip geraman binatang buas. "Kau salah, Raviel. Amarahku bukan kelemahan. Amarahku adalah senjataku."

Ia melompat mundur, lalu merentangkan tangannya. Kabut hitam yang melayang di udara mendadak berputar liar, seolah ditarik oleh kekuatan tak terlihat. Dari pusaran itu, muncul cakar-cakar bayangan yang panjang dan tajam, mencakar udara, meninggalkan jejak seperti luka di langit malam.

Raviel menatap dengan wajah serius. "Sihir kegelapan…"

Dengan teriakan singkat, Anubis meluncurkan cakar bayangan itu ke arah Raviel. Empat bilah hitam raksasa menghantam seperti tombak, menghancurkan papan dermaga, menebas udara. Raviel melompat ke samping, tapi salah satu bilah mengenai bahunya, menggores zirah peraknya dan meninggalkan bekas hitam yang berasap.

Untuk pertama kalinya, wajah Raviel menegang bukan hanya karena kewaspadaan, tapi rasa sakit. Ia menatap bekas goresan itu, menyadari bahwa luka yang ditinggalkan bukan sekadar luka fisik ada racun kegelapan yang merembes, mencoba melumpuhkan ototnya.

"Jadi ini kekuatanmu…" gumam Raviel. Ia menggenggam pedangnya dengan kedua tangan, lalu menyalurkan energi sihir putih kebiruan. Cahaya itu membungkus bilah pedangnya, bergetar seperti api biru di malam gelap. "Kalau begitu, aku tidak bisa menahan diri lagi."

Anubis menyeringai. "Bagus. Tunjukkan padaku kekuatanmu. Biar aku tahu apa yang akan kuhancurkan."

Raviel melompat maju, pedangnya menyapu kabut, membelah cakar-cakar bayangan yang menyerang. Setiap ayunan meninggalkan bekas cahaya biru, membuat kabut terpecah. Anubis melawan dengan kecepatan liar, belatinya menyambar dari arah yang tak terduga, dibantu oleh bayangan yang membuat gerakannya sulit ditebak.

Benturan demi benturan membuat dermaga bergetar. Peti-peti kayu hancur, papan dermaga retak. Ombak naik lebih tinggi, seolah laut sendiri marah dengan pertarungan ini.

Budak-budak yang tersisa hanya bisa menatap dengan ngeri dari kejauhan. Bagi mereka, kedua pria itu bukan manusia mereka monster.

Anubis menurunkan belatinya, lalu menggerakkan tangannya membentuk tanda aneh. Kabut pekat berkumpul di sekeliling Raviel, menciptakan dinding hitam yang menutup pandangan.

"Terperangkap," bisik Anubis, suaranya menggema di kabut. "Sekarang, rasakan apa yang kurasakan saat keluargaku dibantai. Rasa takut. Rasa tak berdaya."

Dari setiap sisi, bayangan menyerang Raviel tangan hitam, cakar, wajah samar yang berteriak. Raviel mengayunkan pedangnya, menebas satu per satu, tapi setiap kali dia menghancurkan satu bayangan, tiga lagi muncul menggantikan.

Untuk sesaat, Raviel tampak terkepung. Napasnya berat, keringat menetes di pelipisnya. Luka hitam di bahunya mulai menyebar, membuat tangannya sedikit kaku.

Tapi mata abu-abu itu tidak menunjukkan rasa takut. Hanya tekad baja.

Dengan teriakan lantang, Raviel menancapkan pedangnya ke papan dermaga. Sihir biru meledak dari bilahnya, menyebar seperti gelombang cahaya. Kabut di sekelilingnya buyar, bayangan menguap dengan jeritan, dan udara menjadi jernih kembali.

Anubis menyipitkan mata. "Menarik."

Raviel menarik pedangnya dari papan, lalu menatap lurus ke arah Anubis. "Aku tidak tahu siapa yang melatihmu, tapi kekuatanmu… bukan kekuatan yang pantas ada di dunia ini."

Anubis tertawa dingin, suara yang menusuk. "Kau salah lagi, Raviel. Kekuatan ini adalah satu-satunya yang pantas. Dunia ini kotor, dibangun di atas darah budak. Aku akan menghancurkan semuanya. Dan kau" ia mengangkat belatinya, kabut kembali berputar di sekelilingnya "akan jadi langkah pertamaku."

Dua sosok itu kembali saling menatap, udara di antara mereka penuh listrik tak terlihat.

Pertarungan baru saja mencapai titik didihnya.

Angin laut berhembus kencang, membawa aroma asin bercampur darah yang mulai meresap ke papan dermaga. Cahaya biru kristal dari jantung Atlantis berkelip samar, seolah ikut menyaksikan duel yang akan menentukan arah masa depan dunia bawah ini.

Anubis berdiri tegak, belati di tangannya bergetar pelan, seakan haus daging. Bayangan di sekitarnya bergolak, memanjang seperti makhluk hidup yang ingin keluar dari tubuhnya. Matanya berpendar emas menyala, bukan lagi mata manusia biasa, melainkan mata predator.

Raviel, meski luka hitam di bahunya masih menyebar, tidak bergeming. Nafasnya dalam, teratur, pedangnya menyala dengan api biru yang semakin terang. Sorot matanya abu-abu dingin, tak kenal ragu.

Hening. Hanya debur ombak yang terdengar. Budak-budak menahan napas, prajurit yang tersesat di kabut tak berani mendekat. Dunia menyempit hanya untuk dua sosok itu.

Lalu, keduanya bergerak.

Seperti kilat yang menyambar, Anubis melesat maju, bayangan mengikutinya, menciptakan belasan ilusi tubuh. Belatinya menusuk, menebas, menyerang dari segala arah sekaligus. Suara desir udara bercampur dengan jeritan kabut.

Raviel membalas dengan ayunan pedang besar yang berkilat. Bilahnya menebas ilusi satu demi satu, menghancurkan bayangan dengan percikan cahaya biru. Setiap tebasan adalah badai, setiap gerakan penuh kekuatan.

Dentuman keras terdengar saat belati Anubis dan pedang Raviel bertemu tepat di tengah. Percikan api sihir meledak, membuat papan dermaga pecah. Ombak menghantam lebih tinggi, memercikkan air asin ke wajah mereka.

Anubis mendorong, tubuhnya dipenuhi amarah. Raviel menahan, tubuhnya dilindungi disiplin baja seorang prajurit.

Namun, Anubis tidak bertarung hanya dengan tubuh. Bayangan di belakangnya berubah menjadi tentakel hitam, menyambar ke arah Raviel dari samping. Raviel berputar cepat, menebas dua tentakel, tapi yang ketiga menghantam dadanya keras, membuatnya terhuyung.

Anubis melihat celah itu. Dengan teriakan rendah, ia melompat, belati mengarah lurus ke leher Raviel.

Waktu melambat.

Budak-budak menjerit. Ombak berhenti sejenak.

Tapi Raviel tidak panik. Dengan refleks luar biasa, ia memiringkan tubuhnya, lalu membalas dengan hantaman gagang pedang ke wajah Anubis. Suara keras terdengar duk! darah muncrat dari mulut Anubis. Tubuhnya terhempas ke belakang, menghantam tiang kayu hingga patah.

Anubis tersungkur, darah merah bercampur air asin di bibirnya. Tapi matanya masih bersinar, masih membara. Ia bangkit perlahan, meski tubuhnya gemetar.

Raviel juga tidak dalam kondisi sempurna. Luka hitam di bahunya makin parah, membuat separuh lengannya kaku. Nafasnya berat, namun tatapannya tetap tajam.

Mereka saling menatap lagi, dua sosok yang sama-sama terluka, tapi tidak ada yang mau mengalah.

Anubis menyeringai dengan darah menetes di dagunya.

"Kau kuat, Raviel. Tapi ini baru awal. Dunia ini akan runtuh. Dan saat itu terjadi, kau akan berdiri di reruntuhan… entah sebagai musuhku, atau sebagai sesuatu yang lain."

Raviel tidak menjawab. Ia hanya menurunkan pedangnya sedikit, seolah memberi pengakuan bahwa Anubis bukan lawan biasa.

Suara peluit nyaring tiba-tiba terdengar. Dari arah pelabuhan, cahaya obor dan sihir datang mendekat pasukan tambahan kerajaan. Puluhan prajurit dengan tombak sihir berlari menuju dermaga.

Raviel melirik ke arah mereka, lalu kembali menatap Anubis. "Kau pintar memilih waktu. Tapi malam ini bukan malam kematianmu."

Anubis tertawa dingin, lalu kabut di sekitarnya kembali berputar, menelan tubuhnya. Dalam hitungan detik, dia menghilang ke dalam kegelapan, meninggalkan Raviel sendirian di dermaga yang hancur.

Saat prajurit kerajaan tiba, mereka menemukan Raviel berdiri tegak, pedangnya masih berkilau, budak-budak berantakan, dan dermaga porak-poranda.

Seorang perwira berseru, "Apa yang terjadi di sini?"

Raviel hanya menjawab pelan, matanya masih menatap ke arah kabut yang perlahan menghilang.

"Sesuatu yang baru saja bangkit. Namanya… Anubis."

Darah menetes ke air laut, tercampur dengan ombak. Malam itu, Atlantis yang Terbelah baru saja mendengar suara pertama dari badai yang akan datang.

More Chapters