Bab 1: Sungai yang Tidak Pernah Tidur
Air sungai Kapuas mengalir tenang malam itu, memantulkan cahaya bulan seperti cermin hidup. Tapi ketenangan itu hanya ilusi—bagi mereka yang tinggal di pinggirannya, sungai itu tak pernah benar-benar tidur.
Rara, mahasiswa antropologi dari Jakarta, baru tiba di Desa Teluk Ambun, salah satu desa terpencil di Kalimantan Barat. Ia dikirim untuk meneliti tradisi masyarakat Dayak di sekitar Kapuas. Tapi sejak malam pertama, ia tahu—ada sesuatu yang tak biasa di tempat ini.
"Kalau malam, jangan duduk di tepi sungai, Nak," bisik Mak Tijah, pemilik rumah tempat Rara menumpang. "Sungai ini ada yang jaga. Bukan manusia."
Rara hanya tersenyum waktu itu, menganggapnya sebagai mitos lokal. Tapi senyumnya perlahan memudar saat ia mulai melihat dan mendengar hal-hal yang tak bisa dijelaskan.
Malam itu, ia berdiri di dermaga kecil, menatap air yang tampak berkilau di bawah sinar bulan. Angin lembut menerpa wajahnya, membawa aroma tanah basah dan bunga kenanga yang entah dari mana datangnya.
Tiba-tiba, dari kejauhan, terdengar suara nyanyian perempuan. Suaranya pelan, mendayu, dalam bahasa yang asing tapi menenangkan… sekaligus menakutkan. Rara menajamkan telinga. Suara itu datang dari sungai.
Pelan-pelan, ia melihat sesuatu muncul dari permukaan air. Bukan perahu. Bukan ikan. Tapi… sesosok wanita berpakaian adat, rambut panjang menjuntai, matanya kosong seperti cangkang. Kulitnya pucat, nyaris transparan, dan ia melayang di atas air.
Rara mematung.
Sosok itu tersenyum samar, lalu membuka mulut. Suaranya bergema langsung di dalam kepala Rara.
"Kau sudah datang. Pewaris berikutnya."
Jantung Rara nyaris berhenti.
Dalam sekejap, sosok itu lenyap, air sungai kembali tenang seperti semula. Tapi tubuh Rara gemetar, karena tahu—yang barusan itu nyata.