Cherreads

Chapter 4 - "Oxoford, sekolah para Realis"

Langit pagi itu sedikit berawan, namun tidak cukup gelap untuk menutupi sinar mentari yang menyusup lewat celah bangunan tinggi kota Akarius. Di depan gerbang besar berwarna hitam perak dengan emblem Oxoford berkilau seperti tameng kesatria digital, seorang pria muda berdiri memandangi bangunan megah itu sambil menyipitkan mata.

"Hmm... Jadi ini Oxoford? Letaknya lebih dekat dari yang kupikir..." gumam Kaito pelan, kedua tangannya menyelip di saku jas hitam panjangnya yang berkibar pelan ditiup angin.

Suasana tenang... terlalu tenang.

Padahal ini sekolah. Tapi kenapa... atmosfernya kayak kamp militer yang baru bangkit dari tidur siang?

Dia melangkah masuk melewati gerbang, dan langsung disambut dengan... kekacauan yang aneh tapi terorganisir.

Anak-anak berpakaian putih berdasi biru-ungu-beberapa lainnya coklat dengan dasi yang sama-bertebaran di halaman. Ada yang duduk di bangku sambil makan nasi goreng dari wadah taktis, ada yang memoles senjata api seperti sedang menyemir sepatu, dan... ada juga yang menjual peluru seperti tukang koran zaman dulu.

"Seriusan ini sekolah?" pikir Kaito dengan dahi mengernyit, langkahnya tetap tenang meski hatinya gemetar sedikit.

Di bawah pohon besar di dekat lapangan, dua siswa dengan helm pelindung sedang ngobrol sambil jongkok, dan-seolah tidak cukup absurd-tiga siswa lain sedang bermain... jangling granat?

"...APA ITU TADI?" gumam Kaito sambil refleks melangkah ke samping saat sebuah granat dilempar ke ring basket dan... BOOM!! meledak tepat saat menyentuh jaring ring.

Sorakan terdengar dari sekitar.

"YEAAHH!! GOL!!"

"Skor 3-1, brooo! Granatnya kena ring!"

"Hahaha, next time pakai flashbang, biar lebih dramatis!"

Namun, tak semua lemparan sukses.

Salah satu siswa lain menendang granatnya terlalu lambat... BOOM!! granat itu meledak lebih cepat dari ekspektasi.

"ARGH-!"

Siswa itu langsung terkapar seperti boneka kain yang dilempar ke dinding.

Kaito langsung berhenti melangkah.

"...Oke. Ini sekolah atau arena survival?" pikirnya sambil mengangkat satu alis.

Beberapa siswa langsung berlari ke arah korban.

"Hei, ambil tandu plasma!"

"Panggil anak medis kelas 3"

Tak lama kemudian, sekelompok siswa berbaju putih dengan lambang palang biru di lengan datang membawa peralatan medis canggih.

"Detak jantung stabil."

"Syok ringan. Oke, kita angkut ke ruang rawat Bronze."

"Sial... granatnya keluaran batch error lagi tuh."

Siswa yang pingsan itu diangkat dengan tenang, seperti sudah SOP.

Kaito diam beberapa detik.

Lalu menarik napas dalam.

"...Baru lima menit di sini," katanya lirih.

"Tapi aku sudah mempertanyakan kenapa aku menerima pekerjaan ini."

Tapi anehnya... ada rasa familiar.

Rasanya seperti... aku pernah berada di tempat se-chaotic ini sebelumnya.

---

[Kilas balik - 7 tahun lalu]

Seorang Kaito kecil berdiri tegak di tengah bunker bawah tanah, mengenakan seragam militer biru keabu-abuan. Suaranya jernih dan tegas saat menunjuk ke peta.

"Pasukan Delta, kirim dua unit drone ke sektor E7. Alpha, siap tembak dari balik reruntuhan!"

"Komandan, kita kekurangan peluru!"

"Aku tahu."

"Komandan, kita kehilangan dua rekan!"

"Aku tahu."

Suaranya tidak goyah. Bahkan ketika layar memperlihatkan zona merah berkedip-kedip.

"Kau takut?" tanya salah satu prajurit muda.

Kaito menggeleng.

"Kalau aku takut, kalian semua akan gemetar. Jadi... aku harus pura-pura berani, sampai itu jadi kenyataan."

---

Kembali ke Oxoford.

Kaito menatap siswa-siswa yang kembali santai setelah ledakan tadi. Beberapa bahkan kembali jualan peluru.

Ya... ini memang bukan medan perang, tapi... rasanya mirip.

Hiruk-pikuk, kacau, tapi entah kenapa... terasa hidup.

"Apa aku gila karena merasa nyaman di tempat kayak gini?" pikirnya sambil tersenyum kecil.

Seorang siswa yang sedang menjual peluru tiba-tiba melihat Kaito dan bertanya, "Eh,... mau beli peluru? Ada diskon kalau beli tiga kotak, dapet granat bonus."

Kaito hanya memiringkan kepala dan mengangkat satu tangan menolak.

"Gak, thanks. Aku... bukan siswa."

Siswa itu mengangkat alis. "Lho? Bukan siswa? Trus siapa-"

Kaito menatapnya tajam.

"Guru."

Siswa itu langsung melongo. "Wah, guru? Di sini? Yang bener? Tapi kok kayak siswa ya?"

Kaito menyipitkan mata.

Karena aku memakai pakaian konyol ini, bodoh.

Sambil menghela napas, Kaito melangkah masuk ke dalam gedung utama sekolah.

Lalu menggumam pelan, "...Ini baru permulaan, belum apa-apa."

Bangunan utama Sekolah Oxoford berdiri gagah, dindingnya bergaya neoklasik futuristik, dengan perpaduan kaca biru dan baja abu tua. Di depan pintunya, Kaito berdiri diam sejenak, menatap ke atas, seolah memindai gedung itu dari ujung ke ujung dengan matanya yang tajam namun malas.

"Yah... saatnya masuk. Semoga isinya nggak seaneh di luar tadi," gumamnya sembari menarik napas panjang.

Ia meraih gagang pintu dan mendorongnya perlahan...

THUD!

"AUUWWW!!"

Sebuah suara kesakitan muncul dari balik pintu. Sesaat kemudian-BRUKK!!-beberapa buku tebal jatuh berserakan tepat di kakinya.

"Hah?! Eh?! Apa barusan... aku nabrak orang?" Kaito langsung panik.

Langkahnya berhenti. Ia menyibak pintu lebih lebar dan menemukan seorang siswi sedang terduduk di lantai, memegangi dahinya.

Gadis itu mengenakan seragam putih berdasi biru-ungu, jaket oranye terang yang kontras, rambutnya putih perak memanjang, mata kuning emas yang sedikit berair karena nyeri, dan... sebuah MP5 tergantung manis di punggungnya.

"Ugh... kepala aku... bener-bener gak ada peringatan ya tadi..." gumam gadis itu pelan, seperti ngomel pada dirinya sendiri.

Kaito segera jongkok dan menawarkan tangan.

"Eh, maaf! Maaf banget! Aku nggak lihat kamu ada di belakang pintu tadi."

Gadis itu memaksakan senyum meski masih memegangi kepalanya.

"Ehehe, nggak apa-apa kok... salahku juga, jalan sambil baca buku sih."

Oke. Setidaknya dia nggak marah. Tapi... kenapa juga bisa ada orang baca buku tepat di balik pintu? Pikir Kaito sambil bantu mengumpulkan buku-buku yang berserakan.

Sambil menyerahkan buku itu satu per satu, ia bertanya, "Ngomong-ngomong... boleh tahu namamu siapa? Dan kamu kelas berapa?"

Siswi itu mengedip sekali, lalu menjawab sambil berdiri dan menepuk-nepuk roknya.

"Aku Mila, kelas 2A, SMA Elite. Terima kasih ya udah bantuin."

"SMA... Elite?" Kaito mengulang, sedikit kaget.

Oh? Jadi ini salah satu anak top di sini ya...

Mila memperhatikan Kaito dari atas ke bawah-jas hitam panjang, sepatu kulit, aura dewasa yang agak mencurigakan. Tatapannya akhirnya berhenti pada kalung di leher Kaito, yang memiliki kartu kecil dengan logo misterius bertuliskan: G.T.

"Hm? Aku belum pernah lihat logo ini... G.T.?" Pikir Mila sambil mendekat setengah langkah dengan rasa ingin tahu.

"Nama kamu siapa?" tanya Mila santai, alis sedikit terangkat.

"Oh. Aku Kaito," jawabnya sambil menatap wajah Mila yang kini agak serius.

Kok dia tiba-tiba nanya? Dia curiga ya? Atau... cuma basa-basi? Pikir Kaito.

Tak ingin suasana jadi canggung, ia menawarkan bantuan lagi, "Mau kubantu bawa bukunya ke dalam kelas?"

Mila menggeleng sambil tersenyum tipis. "Nggak, terima kasih. Aku bisa kok." Ia memeluk buku-buku itu ke dadanya. Dia baik juga ya. Tapi gayanya... beda dari siswa biasa.

Kaito mengangguk pelan. "Kalau begitu..."

Namun kalimatnya terpotong.

"Nomor HP kamu berapa?" tanya Mila tiba-tiba.

Kaito membeku.

"Eh?"

Apa aku barusan salah dengar? Pikirnya panik.

"Nomor HP?" ulangnya sambil perlahan mengambil ponsel dari saku.

"Hmm... +008."

Mata Mila membelalak.

"+008...?! Itu kode jaringan pemerintahan pusat! Jangan-jangan..."

Mata Mila bergerak cepat ke kartu G.T. di leher Kaito, lalu ke wajahnya, lalu kembali ke leher.

"Eh? Eh?!" Wajahnya tiba-tiba merah padam.

"Ma-Maafkan aku... Guru!" serunya refleks, lalu menunduk dalam-dalam seperti habis meninju kepala kepala sekolah.

"Hah?" Kaito terkejut. "Kok kamu tahu aku guru? Dan kenapa panik gitu?"

Tapi sebelum ia bisa tanya lebih jauh, Mila sudah kabur.

Berlari cepat melewati lorong taman sekolah.

"Aduh... kenapa aku bego banget sih tadi... Bisa-bisanya nanya nomor HP ke guru... itu juga Guru Terbang baru yang... ganteng banget pula..." pikir Mila dalam hati, wajahnya makin merah saat bayangan Kaito muncul lagi di kepala.

"ARGHHHH!! Bodohnya aku!!"

Saking paniknya, Mila hampir menabrak seorang siswa berkacamata yang baru saja keluar dari aula. Siswa itu berhenti sejenak, melihat Mila berlari lalu menghilang ke tengah kerumunan.

Ia hanya menghela napas panjang, lalu melanjutkan langkahnya dengan tenang menuju pintu masuk.

Kaito masih berdiri di dekat pintu bangunan utama Oxoford, matanya mengikuti siluet Mila yang menghilang di antara kerumunan. Wajahnya tak berubah, tapi napasnya sedikit berat. Ia baru saja sampai, dan sudah menabrak seorang siswi. Lumayan untuk pembuka.

Langkah sepatu yang tenang terdengar dari arah taman. Seorang siswa berjalan mendekat, jas putihnya rapi, dasi biru-ungu bergoyang pelan seiring gerakan tubuh. Ia berkacamata bundar tipis, wajahnya tenang seperti perpustakaan, dan di tangannya ada sebuah buku tebal berjudul "Teori Jaringan Sosial di Era Neo-Teknologikal."

Siswa itu berhenti tepat di depan Kaito.

"Guru Terbang Kaito, ya?" sapanya dengan nada ramah dan formal.

Kaito menatapnya sebentar, lalu menyipitkan mata.

"Ah... kau yang waktu itu di kantor gubernur... Anwar, bukan?"

Anwar tersenyum kecil dan membenarkan posisi kacamatanya. "Tepat sekali. Saya tak menyangka guru akan langsung ke Oxoford terlebih dahulu. Cepat juga responnya."

Kaito mengangkat ponselnya dan memperlihatkan layar notifikasi.

"Yah, notifikasi darimu yang muncul duluan," ujarnya sambil menunjuk nama Anwar - Oxoford Library Issues di layar.

Anwar mengangguk, tampak puas. "Syukurlah. Perkenalkan, nama lengkap saya Anwar, kelas 3A SMA Elite. Saya pengawas perpustakaan, dan... kebetulan juga salah satu novelis yang cukup dikenal di kota Akarius," ucapnya sambil menyelipkan senyum bangga.

Ia mengulurkan tangan sopan.

Kaito menyambutnya seadanya.

"Oh... Okelah," balas Kaito pendek, tanpa ekspresi berlebihan.

Anwar membeku sejenak. Matanya melebar, lalu menyipit.

Eh...? Loh? Cuma 'okelah'?

Biasanya guru-guru langsung komentar macam: "Wah! Anwar si penulis jenius itu! Aku baca karyamu waktu kecil!" Tapi ini? Kenapa reaksinya kayak karakter dingin di novel kriminal? Bahkan antagonis di volume 4 novelnya sendiri lebih apresiatif!

Wajahnya tersenyum, tapi dalam hati ia menangis.

"Ngomong-ngomong," ucap Kaito, berusaha mengganti suasana, "Kamu tahu Mila, kan?"

Anwar mengangguk, nada bicaranya kembali tenang.

"Tentu saja. Siswi yang hampir menabrak saya tadi itu, kan? Dia itu ketua OSIS tahun ini. Di sekolah ini, dia... semacam penjaga stabilitas," jelas Anwar sambil mengatur ulang posisi bukunya.

Kaito mengernyit. "Penjaga... stabilitas?"

"Yap. Kalau dia nggak ada lima menit aja, sekolah ini bisa chaos total. Bisa-bisa kelas Elite dan Bronze baku hantam cuma gara-gara rebutan colokan listrik."

"Hah? Maksudmu... dia semacam babu sekolah?" Kaito terlihat bingung setengah geli.

Anwar mendesah kecil dan menggeleng pelan. "Nggak sejauh itu, guru. Lebih tepatnya: MVP dengan peran support all-area."

Kaito terkekeh kecil. "Istilahmu... aneh juga."

Dalam hati, Kaito mulai membayangkan Mila dengan MP5 di punggung, berlari ke sana ke mari memadamkan kerusuhan antar kelas, sambil menenangkan anak-anak dengan suara lembut dan senyum diplomatik. MVP, huh? Jadi begitu...

Lucu juga. Dulu aku juga gitu... Walau caraku menyelesaikan konflik jauh lebih... eksplosif, pikir Kaito, matanya sedikit kosong teringat masa lalu saat usianya baru 13 dan harus menyatukan dua kompi yang saling membenci hanya dengan dua kata dan satu lemparan granat flashbang.

Anwar melirik Kaito yang tampak tenggelam sesaat dalam pikirannya.

"Guru?"

Kaito mengerjap. "Hm? Maaf."

"Kalau guru tidak keberatan, bagaimana kalau kita lanjutkan bincang-bincang sambil jalan ke perpustakaan?" saran Anwar ramah.

Kaito mengangguk. "Baiklah. Pimpin saja jalannya."

Anwar pun mulai berjalan di koridor depan, menyusuri jalan setapak berbatu abu yang dipenuhi tanaman hias biru-biru buatan hasil teknologi bioluminesensi khas Akarius. Sinar matahari menembus sela-sela kaca besar atap gedung. Langkah sepatu mereka bergema tenang, sesekali diselingi suara anak-anak Bronze di kejauhan yang sedang adu debat siapa yang lebih kuat: senapan plasma atau sniper hybrid.

"Ngomong-ngomong, guru..." ujar Anwar sambil menoleh setengah ke belakang, "Saya penasaran. Apakah ini pertama kalinya guru datang ke Oxoford?"

Kaito mengangguk. "Yah. Bisa dibilang... ini juga pertama kalinya aku jadi Guru Terbang."

"Oh?" Anwar menaikkan alis. "Berarti... guru sebelumnya bukan berasal dari bidang pendidikan?"

Kaito hanya menjawab dengan senyum kecil. "Bisa dibilang begitu."

Kalau aku bilang aku mantan komandan termuda dengan rekam jejak menaklukkan Distrik Graven saat masih pakai sepatu ukuran 36, mereka bakal percaya nggak ya?

Anwar mengangguk-angguk sambil menatap langit-langit. "Hmmm... misterius juga ya, guru ini. Cocok dijadiin karakter utama novel."

"Jangan-jangan kamu beneran mau nulis soal aku?"

"Udah aku catat kok. Gaya bicaramu yang pendek-pendek itu punya charm tersendiri. Agak mirip karakter tsundere."

"...Aku guru, bukan karakter romcom," jawab Kaito datar.

Anwar terkekeh. "Ahaha, iya deh. Tapi tetep bakal kupakai, siapa tahu masuk daftar best-seller lagi."

Kaito menatapnya dengan tatapan 'kamu-ini-serius-apa-nggak-sih', lalu mengangkat bahu.

More Chapters