Cherreads

Chapter 13 - chapter 13- mentor yang misterius

Setelah kami cukup kaget? Tidak. Kami bersebelas benar-benar syok.Apa yang kulihat di depan mataku sama sekali bertolak belakang dengan semua bayangan tentang “monster” yang pernah kubaca di manga atau novel.

Goblin—yang biasanya digambarkan licik, bejat, pemalas—sekarang malah membungkuk sopan di hadapan kami. Mereka berbaris rapi, lalu satu per satu menaruh kursi kayu seakan sudah dilatih menjadi pelayan istana.

Bahkan ketika kursi terakhir diletakkan, seekor goblin kecil dengan wajah serius membawa baki berisi gelas kaca bening dan kendi air segar. Ia menaruhnya di atas meja kantor yang begitu rapi, seolah-olah ini bukan dungeon… tapi ruang rapat bangsawan.

Aku hampir ngakak karena absurditasnya, tapi tenggorokanku tercekat.“…Ini goblin, kan? Bukan manusia yang dikutuk, kan?” bisikku ke Kazuki.Kazuki hanya menggeleng dengan wajah tegang.

Orc raksasa yang tadi kulihat bahkan lebih aneh lagi—mengangkat meja kantor kayu solid dengan satu tangan, lalu menaruhnya tepat di tengah ruangan. Meja itu terlalu modern untuk ada di dunia ini, entah darimana Rian mendapatkannya.

Aku duduk, masih dalam keadaan setengah linglung. Kursi kayunya kasar, tapi cukup kuat menahan tubuhku. Tanganku otomatis meraih gelas di depan. Air di dalamnya berkilau jernih, bahkan dingin ketika kupegang. Monster yang biasanya kita lawan dalam game, sekarang malah nyuguhin minuman dingin.

Aku menatap sekitar. Teman-temanku pun sama bingungnya. Kaname masih siaga dengan api kecil di telapak tangannya, Iroha gelisah sambil menggenggam rok seragamnya, Takemura sampai berbisik pelan, “Ini… absurd banget.”

Aku menelan ludah.“Ini benar-benar dunia lain…” gumamku dalam hati.Dan entah kenapa, justru saat ini aku baru sadar—bukan monster yang berbahaya. Tapi orang asing di depan kami, yang bisa membuat goblin dan orc berperilaku seperti pelayan setia.

Rian menyandarkan diri di kursi, gerakannya santai seperti orang yang sedang nongkrong di kafe, padahal kami dikelilingi goblin dan orc yang masih berjaga di sekitar. Tatapannya jatuh ke arah kami, tenang tapi tajam.“Jadi?” katanya ringan. “Kalian ingin dengar tentang Kaito, bukan?”

Perutku terasa mengeras. Akhirnya. Kata itu membuat dadaku berdegup tak karuan. Sejak awal, semua rasa penasaran dan keresahan kami bermuara pada satu hal—Kaito. Teman yang tiba-tiba “menghilang” sejak hari pertama, teman yang mungkin sudah…

Aku menggeleng cepat. Tidak. Jangan berpikir sejauh itu.

Namun, di saat bersamaan, kata-kata Kaname tadi kembali bergaung di kepalaku: “Monster… iblis yang menyerupai manusia.”Dan sekarang aku melihat buktinya—Rian bisa mengendalikan goblin dan orc dengan sekali lambaian tangan. Tidak ada keraguan bahwa makhluk-makhluk itu patuh padanya seperti bawahan terhadap raja.

Kalau dia benar iblis… maka dia bukan iblis biasa.Aku bisa merasakan hawa kekuatan yang entah kenapa membuat tengkukku merinding.

Tanganku mengepal di atas paha. Aku ingin sekali berdiri, bertanya langsung, mengguncang bahunya sampai dia bicara jujur. Tapi aku tahu itu tindakan bodoh. Untuk sekarang, hanya ada satu hal yang bisa kulakukan: menahan diri, mendengarkan, dan berharap.

Aku hanya bisa berdoa dalam hati…Kaito, kumohon. Kau baik-baik saja di dalam dungeon ini.

Rian mengangkat alisnya, lalu berkata santai:“Kaito sekarang mungkin lagi latihan bareng mentor lain di lantai administrasi. Jadi nggak usah khawatir soal dia.”

“…Latihan?” aku refleks menatapnya.Dia memberi latihan ke Kaito? Tapi siapa mentor satunya lagi?

Belum sempat aku membuka mulut, Takemura Shin—cowok yang biasanya pendiam—tiba-tiba menepuk meja. Suaranya bergetar, tapi matanya serius.“Siapa… ‘mentor’ yang kau maksud?”

Rian menoleh, ekspresinya agak jahil tapi juga serius.“Oh, dia. Seorang naga. Namanya Stranova. Kalo gua yang ngajarin Kaito, paling mentok ngajarin cara kabur atau bikin mie instan. Jadi gua titipin ke guru yang beneran legendaris.”

Aku terdiam.“…Naga?”

Otakku langsung nge-lag.Bayangan aneh mulai muncul di kepalaku tanpa izin.

Kaito, dengan wajah panik, berdiri di tengah arena latihan yang super gelap.Di depannya—seekor naga raksasa berkilau, sayapnya membentang seperti langit malam.Dan naga itu bukannya ngajarin jurus pedang atau mantra sihir… malah nyuruh Kaito push-up seribu kali sambil breathing fire.

“SATU LAGI, KAITOO!!” raung si naga, mengeluarkan napas api.

Kaito, udah compang-camping, teriak balik, “AKU CUMA MAU GAMBAR, BUKAN MASUK SPARTAAAA!!”

Aku refleks megang kepala. Apa-apaan sih imajinasi gue…

Sementara itu Rian masih santai-santai, nyeruput minuman yang disuguhin goblin seakan-akan nggak ada hal aneh dalam perkataannya barusan.

Aku menatap teman-temanku. Dari raut wajah mereka, jelas banget kami semua punya imajinasi absurd masing-masing.

…Kaito, semoga lu nggak kebakar hidup-hidup di sana.

Takemura tiba-tiba menghantam meja dengan tinjunya. Gelas di atas meja bergetar dan membuat lamunan ku tentang kaito yang sedang berlatih dengan se ekor naga lenyap

“Aku… aku sudah muak dengan semua ini, kau tahu!”

Aku terdiam. Baru kali ini melihat sisi lain dari Takemura.Walau tubuhnya besar dan wajahnya galak, sebenarnya dia orang baik—sering menolongku mengambil buku paket di ruang guru. Tapi sekarang, dengan tangan yang gemetar, dia berani bersuara lantang di hadapan Rian, orang asing yang bisa saja menjebak kami dengan pasukan goblin yang mungkin bersembunyi di mulut dungeon.

“Muak?” Rian mengulang kata itu, nada suaranya tenang.

“Ya!” Takemura membalas dengan mata merah menahan emosi.“Kau tahu tidak!? Kami yang tidak tahu apa-apa tiba-tiba dipanggil ke dunia asing ini! Dunia yang bahkan tidak mengenal siapa kami! Dan karena kami asing, mereka malah melemparkan beban berat ke pundak kami… hanya karena kami ‘berbeda’!”

Hatiku ikut bergetar mendengarnya.(Perkataan ini… aku tidak pernah menyangka keluar dari mulut seorang Takemura…)

“Dan lagi… karena kami orang asing, mereka memberi kami skill yang katanya tidak berguna. Mereka memandang rendah kami, seenaknya!” suaranya pecah, hampir berteriak. “PADAHAL KAMI SENDIRI TIDAK PERNAH MEMINTA INI SEMUA!”

Aku mengepalkan tangan. Sakit rasanya… tapi itulah kebenarannya.

Sebelum yang lain sempat bereaksi, Rian justru bertepuk tangan.Clap. Clap. Clap.

Senyumannya muncul. Senyum yang sulit kutebak… mengejek, atau justru mengagumi?

“Kenapa kau tersenyum!?” Takemura kembali berteriak. “Apa kau juga menganggap kami rendah, hah!?”

Rian berdiri. Aura tenangnya berubah jadi sesuatu yang lebih berat.“Tidak. Malah sebaliknya. Aku salut kepada kalian… karena kalian masih bertahan, masih punya nyali, bahkan memutuskan mencari teman kalian… dengan skill yang katanya ‘ampas’ itu.”

Kaname hampir meledak karena kata “ampas”, tapi sebelum sempat bicara, semua terdiam.

Di belakang Rian, dua sayap raksasa membentang.Satu hitam legam, satu lagi putih bercahaya. Kontras. Aneh. Tapi terasa… sakral.

Aku tercekat. “Apa… dia… malaikat? Atau iblis?”

Rian menghela napas, menatap kami dengan mata tajam.“Aku sebenarnya sudah lupa mantra untuk membuat kalian bermimpi. Tapi jangan khawatir… aku hanya ingin menunjukkan bagaimana dunia tempatku dulu bekerja padaku.”

Ia menjentikkan jarinya. Snap!Rasa kantuk menelan tubuhku tanpa ampun.Mataku berat. Nafasku melambat.Sampai akhirnya, semuanya gelap.

More Chapters