Cherreads

Chapter 12 - BAB 12 – Godaan Baru

Sudah tiga hari sejak dua garis merah itu muncul.Rania menyimpan test pack itu di laci bawah meja rias tersembunyi di balik tumpukan scarf dan kertas tagihan listrik.

Bukan karena ia tidak percaya. Tapi karena ia belum siap.Belum siap mengatakan pada Dimas. Belum siap menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang pasti akan muncul setelahnya.

Dan, secara diam-diam… belum siap menerima bahwa hidupnya akan benar-benar berubah.

Di kantor, Rania berusaha bekerja seperti biasa. Tapi tubuhnya lemas, pikirannya melayang, dan mood-nya cepat berubah.

Saat ia sedang menyandarkan kepala di meja kerja, suara familiar menyapanya.

"Pagi, Bu Rania. Lelah?"

Rania mendongak. Arvin berdiri di sana, seperti biasa dengan senyum segarnya dan dua gelas kopi di tangan.

"Kayaknya kamu butuh kafein darurat."

Rania tersenyum, walau paksaan. "Thanks, Vin. Kamu selalu tahu kapan aku butuh ini."

Arvin duduk di kursi seberangnya. "Kamu beda hari ini. Lebih… pucat. Kamu sakit?"

Rania menggeleng cepat. "Nggak. Cuma kurang tidur."

Arvin menatapnya lama, tapi tidak menekan. Ia tahu cara mendekat tanpa membuat lawan bicara merasa diserang. Dan justru itulah yang membuat kehadirannya terasa... nyaman.

"Kalau kamu butuh teman cerita… aku ada, lho. Nggak harus soal kerjaan."

Rania tersenyum lagi. "Makasih, Arvin. Tapi aku baik-baik saja."

Tapi Rania tidak benar-benar baik.Malam harinya, ia muntah dua kali di kamar mandi.Dimas yang biasanya peka, sedang sibuk menyunting hasil fotonya di ruang kerja. Ia tidak menyadari suara muntah Rania yang ia kira cuma "masuk angin."

Setelah menyikat gigi dan membasuh muka, Rania duduk di lantai, punggung menyandar ke tembok.Pelan-pelan, ia menangis lagi. Bukan karena kehamilan itu. Tapi karena merasa... sendirian.

Dan yang membuatnya makin kalut, adalah saat ponselnya berbunyi.

📲 [Arvin]: "Kamu baik-baik aja? Entah kenapa aku kepikiran kamu."

Rania menatap layar ponsel itu lama. Lalu membalas.

📲 [Rania]: "Aku… capek, Vin."

Balasan datang cepat.

📲 [Arvin]: "Mau aku jemput? Kita bisa ngobrol, nggak usah bahas kerjaan."

📲 [Rania]: "Nggak usah. Tapi… makasih. Aku senang kamu peduli."

Besoknya, Arvin benar-benar membawa makanan hangat ke kantor: sup ayam dan jus jeruk.

"Kamu kelihatan kayak orang kurang gizi. Makan yang bener, ya."

Rania menahan senyum. Tapi dalam hati, ia goyah.Ia tahu, jika ini terus dibiarkan, kedekatan ini bisa jadi bencana. Bukan karena Arvin buruk tapi karena Dimas belum tahu sepenuhnya bahwa Rania… sedang menunggu.Menunggu untuk ditemani.

Menunggu untuk didengar.

Malam harinya, Dimas pulang lebih cepat dari biasa. Ia membawa sekotak roti kesukaan Rania dan mengajak nonton film di sofa.

"Ran, aku tahu akhir-akhir ini kamu beda. Tapi aku pengen kamu tahu... aku di sini, oke? Meski kamu belum mau cerita apa-apa."

Rania menatapnya lama. Hatinya terasa berat.

Dan malam itu, saat Dimas tertidur di sebelahnya, tangan menggenggam tangan Rania dalam tidur, Rania berbisik pada dirinya sendiri:

"Kenapa aku masih merindukan perhatian... padahal dia udah ada di sini?"

Dan dari jauh, notifikasi ponsel kembali menyala.Dari Arvin.📲 "Malam, Ran. Aku harap kamu nggak lagi sendiri malam ini."

Rania menatapnya. Lalu mematikan ponsel. Tapi pikirannya... tidak ikut mati.

More Chapters