Bab 2: Langkah yang Tidak Kembali
Tama kembali ke penginapan sederhana di tepi sawah dengan tubuh berkeringat dan pikiran berkecamuk.Suara gamelan yang ia dengar tadi sore di tengah hutan—terlalu nyata untuk diabaikan, terlalu tidak masuk akal untuk dijelaskan secara logika.
Di meja kayu, ia membuka laptop dan mencatat:
"Koordinat lokasi: 7°42'S, 110°20'E. Suara gamelan terdengar dari dalam tanah sekitar pukul 17.44 WIB, di hari Jumat Kliwon. Tidak ada tanda-tanda kehidupan manusia di sekitarnya."
Namun, sebelum ia sempat menyimpan file-nya, listrik padam.
Seketika suasana menjadi sunyi. Terlalu sunyi.
Dari luar, terdengar suara gamelan yang sama.Tapi kali ini… lebih dekat.
Tama membuka jendela.
Di kejauhan, di balik rimbun pepohonan, samar-samar tampak cahaya merah—seolah obor menyala, berkelap-kelip seperti dalam arak-arakan. Tapi tak ada suara manusia. Hanya gamelan.
Dengan cepat, ia mengambil senter dan rekorder audio. Insting penelitiannya mendorongnya pergi, meski bagian dalam dirinya menjerit: jangan.
Namun ia tetap melangkah.
Jalan setapak di pinggir sawah terasa asing di malam hari.Embun mulai turun, menciptakan kabut tipis.Dan semakin dekat dengan suara itu, semakin ganjil rasanya waktu.Jam di tangannya berhenti. Kompas berputar tak tentu arah.
Ia tiba di depan Gua Sukma Larung.
Dari dalam gua, suara gamelan mengalun pelan, seperti mengundang.
Di tanah, tampak batu kecil bertuliskan huruf Jawa kuno, samar tapi masih bisa dibaca:"Sapa mlebu tanpa restu, nyawane keno utang."(Siapa pun yang masuk tanpa izin, jiwanya akan berhutang.)
Tama menggenggam senter. Suaranya lirih:
"Mitos atau tidak… aku harus tahu."
Ia melangkah masuk satu langkah.
Suara gamelan langsung berubah cepat, seperti tandha perang.Lalu sunyi.
Dan dari dalam gelap, terdengar suara perempuan berbisik:
"Selamat datang… Tama."