Cherreads

Chapter 1 - Reinkarnasi Istri Sang CEO

Sinopsis:

Setelah dikhianati oleh suaminya dan sahabatnya sendiri, Keira meninggal dalam kecelakaan misterius. Namun takdir memberinya kesempatan kedua ia terbangun di masa lima tahun lalu, di hari sebelum pernikahannya dengan CEO dingin, Adrian Khalif.

Berbekal semua ingatan masa depan, Keira tidak akan mengulang kesalahan yang sama. Ia punya satu misi: membalas dendam dengan cara paling elegan. Tapi semuanya berubah ketika sang mantan suami Adrian, mulai memperhatikannya dengan tatapan berbeda...

"Kau bukan Keira yang dulu.""Kau juga bukan pria yang dulu aku cintai."

Dendam, cinta, dan rahasia masa lalu kembali terkuak satu demi satu.

Bab 1 – Kembali Sebelum Terlambat

Dentuman keras terdengar saat mobil Keira menghantam pembatas jalan tol. Darah mengalir dari pelipisnya, matanya nyaris tertutup, tapi bukan karena rasa sakit… melainkan pengkhianatan.

Di hadapannya, layar ponsel masih menyala memperlihatkan pesan terakhir dari sahabatnya sendiri.

"Maaf, Keira. Kau terlalu mudah percaya. Adrian memang milikku sejak awal."

Air mata Keira jatuh, bukan karena luka, tapi karena hatinya hancur sepenuhnya.

"Aku... mati seperti ini?"

Gelap. Segalanya lenyap.

Namun takdir ternyata belum selesai menuliskan kisahnya.

Ketika Keira membuka mata lagi, aroma lavender menyergap hidungnya. Matanya menatap langit-langit kamar mewah yang familiar. Ia terduduk kaget, tangannya meraba wajah yang masih muda tanpa luka, tanpa bekas trauma.

"Ini... apartemenku dulu... lima tahun lalu?"

Ia melompat ke depan cermin dan di sanalah, wajahnya yang dulu. Keira, usia 23 tahun. Belum menikah. Belum dikhianati. Belum hancur.

Hari di mana Adrian Khalif melamarnya... dan hari yang mengubah segalanya.

"Aku kembali ke masa sebelum semuanya dimulai," bisik Keira lirih.

Tangannya mengepal.

"Adrian, sahabat palsuku, semua orang yang menyakitiku... kali ini aku tidak akan diam. Aku akan memilih jalanku sendiri. Dan kau... tidak akan bisa menyentuhku semudah dulu."

Namun, rencana Keira mulai goyah ketika ia kembali menatap mata pria itu.

Adrian Khalif.

CEO muda yang dingin dan penuh kontrol.

Tatapannya tajam, seakan ingin menembus isi hati. Tapi Keira berbeda sekarang. Ia tidak akan tunduk.

Namun ketika Adrian menatapnya kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang dulu tak pernah ia lihat. Kehangatan... atau mungkin penyesalan?

"Kau bukan Keira yang dulu," ucap Adrian pelan.

"Kau juga bukan pria yang dulu aku cintai," balas Keira tegas.

Dan begitulah—permulaan dari akhir yang berbeda pun dimulai.

Bab 2: Perjanjian Dingin

Kicauan burung pagi tidak mampu menembus dinginnya suasana di kamar mewah Adrian Khalif. Di atas tempat tidur, Keira membuka matanya perlahan. Udara pagi terasa asing dingin, namun menyimpan kenangan yang menusuk.

Dia menatap sekeliling, mencoba membiasakan diri dengan kamar yang seharusnya dulu menjadi miliknya... sebelum maut menjemput di kehidupan pertamanya.

Namun kini, ia kembali.

Dengan kepala terangkat, Keira menatap bayangan dirinya di cermin besar di sudut ruangan. Bukan lagi gadis polos yang buta akan cinta dan pengkhianatan. Matanya kini lebih tajam. Sorotnya penuh tekad.

Tiba-tiba, pintu kamar terbuka.

Adrian masuk dengan jas rapi, wajahnya seperti biasa dingin, penuh kalkulasi. Tapi tatapannya sedikit berubah saat melihat Keira telah bangun.

"Kau sudah bangun," ucapnya datar.

Keira mengangguk pelan. "Aku tidak lupa bahwa hari ini seharusnya hari pernikahan kita."

Adrian menghentikan langkahnya. "Pernikahan ini hanya formalitas. Kamu tahu itu."

Keira menoleh, suaranya tenang tapi menusuk. "Tentu saja. Kita akan menjadi pasangan di atas kertas, dan hanya itu. Tapi izinkan aku meminta satu syarat."

Alis Adrian terangkat. "Syarat?"

"Tidak ada hubungan pribadi antara kita. Tidak ada cinta, tidak ada harapan. Aku hanya ingin nama belakangmu untuk membalas dendamku," katanya sambil menatap Adrian tajam.

Adrian terdiam. Entah kenapa, dadanya terasa sesak mendengar itu. Namun ia mengangguk.

"Baik. Aku setuju."

Mereka berdua tahu, ini bukan awal dari cinta melainkan awal dari perhitungan.

Di malam harinya, pesta pernikahan mereka berlangsung mewah, dengan para elite bisnis menghadiri acara itu. Tak ada yang tahu bahwa di balik senyuman Keira dan sikap dingin Adrian, tersembunyi luka masa lalu dan rahasia yang belum terungkap.

Saat para tamu mulai bubar, Keira berdiri sendiri di balkon, menatap kota yang berkilau. Gaun putihnya berayun lembut tertiup angin.

"Apakah kamu bahagia sekarang?" suara berat Adrian muncul di belakangnya.

Keira tak menoleh. "Bahagia bukan tujuan pernikahan ini, Tuan Khalif. Tapi kau akan segera tahu... kenapa aku kembali."

Tatapan Adrian mengeras, namun ia tak berkata apa-apa. Ia tak tahu, Keira yang sekarang bukanlah wanita yang ia tinggalkan dulu. Ia adalah badai yang akan mengubah segalanya.

Bab 3: Rahasia yang Mengendap

Pagi itu, suasana vila keluarga Khalif di kawasan elit Jakarta Selatan tampak tenang. Tapi ketenangan itu hanya ilusi. Di balik dinding elegan dan arsitektur mewah, ada ketegangan yang samar dan tajam terutama di antara dua insan yang baru saja resmi menjadi suami istri.

Keira duduk di meja makan panjang, menyendok bubur ayamnya perlahan. Tatapannya tak lepas dari layar tablet di depannya bukan untuk mengisi waktu, melainkan untuk menggali lebih dalam tentang proyek-proyek yang pernah ditangani oleh perusahaan Adrian.

Adrian datang dengan langkah teratur, duduk di seberangnya tanpa suara. Ia menuang kopi ke dalam cangkir porselen putih, lalu menatap Keira sekilas.

"Kau bangun lebih pagi dari biasanya," gumamnya.

"Aku istrimu sekarang. Wajar jika aku mulai belajar memahami duniamu," jawab Keira sambil menutup tabletnya.

Adrian tidak membalas. Tapi matanya menyipit sedikit, seolah membaca maksud tersembunyi dari setiap kalimat Keira. Ia tahu wanita ini berbeda. Lebih tajam. Lebih sadar.

Siangnya, Keira diam-diam menyusuri ruang kerja Adrian. Ia menemukan sebuah laci berkunci, dan dengan sedikit teknik dari masa lalunya yang ia pelajari dari kegilaan atas pengkhianatan ia berhasil membukanya.

Isinya: beberapa dokumen proyek, laporan transaksi, dan… satu foto lama.

Foto itu menampilkan Adrian dengan seorang wanita dan wanita itu bukan dirinya. Bukan juga sahabatnya, Nayla, yang dahulu ia duga menjadi orang ketiga.

Wajah Keira mengeras. Wanita dalam foto itu asing. Namun senyum Adrian di sana terlalu nyata senyum yang bahkan tak pernah ia lihat selama dua tahun pernikahannya yang lalu.

"Siapa kamu…?" bisik Keira dalam hati.

Malamnya, Keira berdiri di kamar mereka, memegang foto itu.

"Kau menyembunyikan sesuatu dariku, Adrian Khalif," ucapnya lirih.

Saat itu juga, Adrian muncul di ambang pintu.

"Kau masuk ke ruang kerjaku?"

Keira tak terkejut. Ia menatap suaminya tanpa gentar. "Aku hanya mencari tahu siapa pria yang kini menjadi suamiku. Dan ternyata, masih banyak yang belum aku tahu."

Adrian mendekat. "Kau tak perlu tahu semuanya, Keira. Kau hanya perlu memerankan istri CEO, bukan detektif."

Keira tertawa kecil. "Sayangnya, aku bukan Keira yang dulu. Aku tidak lagi menerima kebohongan dengan senyuman."

Adrian menatapnya dalam diam. Tapi kali ini, sorot matanya berubah. Ada ketertarikan yang tak bisa ia sembunyikan. Keira yang kini… benar-benar berbeda.

Dan itu membuatnya berbahaya.

Bab 4: Luka yang Tak Pernah Sembuh

Hujan deras membasahi jendela kamar utama di vila Adrian Khalif malam itu. Keira berdiri mematung di depan kaca, memandangi bias lampu kota yang tertutup kabut. Tangannya menggenggam cangkir teh hangat, tapi hatinya justru terasa dingin beku oleh kenangan masa lalu yang perlahan mengusik dari dasar kesadaran.

Ia masih ingat jelas malam sebelum kecelakaan itu. Mobil yang melaju kencang. Telepon terakhir dari Adrian yang tak dijawabnya. Dan suara Nayla… sahabatnya… yang terekam jelas tertawa dalam mobil sang suami.

"Sahabat, ya?" bisik Keira pada dirinya sendiri, matanya mulai berkaca.

Dulu, Keira adalah wanita yang menutup mata demi cinta. Tapi sekarang setelah reinkarnasi yang misterius itu ia belajar satu hal: cinta tanpa kejujuran adalah luka yang akan selalu terbuka.

Di ruangan kerjanya, Adrian memandangi layar laptop dengan raut wajah tegang. Foto masa lalu yang ditemukan Keira beberapa hari lalu foto dirinya dengan wanita lain ternyata bukan hanya sekadar kenangan. Wanita itu adalah Michelle, mantan kekasih yang dulu nyaris ia nikahi sebelum akhirnya memilih Keira.

Tapi Michelle menghilang tanpa jejak… dan kini ia mendapat pesan ancaman dari nomor tak dikenal:

"Jika kau pikir Keira adalah masa lalumu, kau salah. Dia hanya permulaan."

Adrian mengatupkan rahangnya. Entah kenapa, sejak Keira kembali ke dalam hidupnya, satu demi satu potongan masa lalu mulai mencuat. Bukan hanya tentang cinta. Tapi juga tentang pengkhianatan, rahasia keluarga… dan kematian.

Keira kembali ke kamar, dan menemukan Adrian sedang duduk di sofa, menatap layar ponselnya dengan ekspresi muram. Saat ia masuk, lelaki itu segera menyembunyikan ponselnya.

"Kau sedang menyembunyikan sesuatu?" tanya Keira dengan nada santai tapi menusuk.

Adrian mendesah, bangkit dari duduknya. "Semua orang punya masa lalu, Keira."

"Dan kadang masa lalu itu bisa membunuh kita lebih pelan dari peluru."

Adrian menatapnya tajam. "Apa maksudmu?"

"Aku hanya memperingatkan. Jangan ulangi kesalahanmu. Karena kali ini, aku tidak akan diam."

Untuk pertama kalinya sejak mereka menikah kembali, Keira menunjukkan sisi dingin yang bahkan lebih menusuk daripada kemarahan. Adrian terdiam. Ia tahu wanita di hadapannya bukan hanya Keira yang dulu.

Ia adalah Keira yang telah mati… dan lahir kembali dengan luka yang belum terbalas.

Dan mungkin… juga dendam yang belum selesai.

Bab 5: Rahasia di Balik Surat Wasiat

Suasana vila terasa tegang sejak perdebatan Keira dan Adrian malam sebelumnya. Mereka tak berbicara sepatah kata pun saat sarapan. Namun ada yang berbeda pagi ini Keira menerima paket misterius tanpa pengirim. Sebuah amplop cokelat tua dengan namanya tertulis rapi di depan:

Untuk Keira Aryasena Khalif Jangan Percaya Siapa Pun.

Tangannya gemetar saat membuka isi surat itu.

Di dalamnya, sebuah salinan wasiat lama dari ayah Adrian… dengan segel asli keluarga Khalif. Keira membaca setiap kalimat dengan perlahan. Nafasnya tercekat ketika menemukan satu paragraf mencurigakan:

"Apabila Adrian Khalif menikah dengan wanita yang bukan pilihan keluarga, maka kekuasaan utama atas saham dan perusahaan akan beralih kepada penerima cadangan, yaitu Nayla Marissa Aryo."

"Nayla…?" bisiknya, nyaris tak percaya.

Sahabatnya sendiri.

Sahabat yang dulu selalu berkata, "Aku akan selalu di sisimu, Keira."

Sahabat yang ternyata memiliki alasan tersendiri untuk merebut posisi Keira — bukan karena cinta, tapi karena ambisi. Segala kepingan mulai menyatu dalam benak Keira. Pengkhianatan itu… kecelakaan itu… kematian yang misterius… bukan kebetulan.

Itu adalah skenario.

Rencana.

Dan Keira baru menyadarinya kini… setelah terlahir kembali.

Sementara itu di ruang kerja, Adrian menatap laporan keuangan terbaru. Ada pergerakan aneh dalam saham perusahaan yang tidak bisa dijelaskan hanya dengan faktor pasar. Seolah seseorang… diam-diam berusaha mengendalikan kekuasaan dari balik layar.

Tiba-tiba, pintu ruang kerja terbuka.

Keira berdiri di ambang pintu, matanya tajam menusuk.

"Kita harus bicara."

Adrian menutup laptopnya. "Tentang apa?"

"Surat wasiat dari ayahmu. Dan tentang Nayla."

Adrian menegang. "Dari mana kau dapat"

"Bukan itu intinya," potong Keira cepat. "Yang ingin kutahu adalah… apakah kau tahu selama ini?"

Adrian menarik napas dalam. "Aku tahu… tapi tidak sepenuhnya. Aku tak pernah berpikir Nayla akan sampai sejauh itu."

Keira mendekat, menatapnya lurus. "Kalau begitu mulai sekarang, jangan bohong lagi. Karena aku bukan Keira yang dulu… dan aku akan melindungi diriku sendiri."

Malam harinya, Keira menghubungi seorang pengacara lama keluarganya. Ia ingin membuka kembali kasus kecelakaan lima tahun lalu.

"Aku ingin tahu siapa yang menarik rem tangan mobilku hari itu," ujarnya tajam.

Di ujung telepon, sang pengacara hanya terdiam sejenak sebelum menjawab lirih.

"Keira… kalau kau benar-benar siap mendengar kebenarannya, maka bersiaplah kehilangan lebih dari sekadar kepercayaan."

Keira memejamkan mata.

Karena ia tahu, sejak awal, kebenaran adalah jalan paling berbahaya.

Namun kini, dia sudah siap.

Siap menyingkap semua… satu per satu.

Bab 6: Jejak Luka dan Kedok yang Terbuka

Malam itu, Keira duduk di depan meja kerjanya, menatap sebuah berkas investigasi yang baru saja ia terima dari pengacaranya. Jemarinya menggenggam dokumen itu erat isinya adalah daftar saksi dan bukti dari kecelakaan lima tahun lalu.

Salah satu nama di bagian bawah mencuri perhatiannya:

"Saksi teknisi: Rendi Saputra, montir pribadi mobil keluarga Khalif."

"Rendi?" bisiknya.

Dia masih ingat pria muda itu. Dulu begitu ramah dan jujur. Tapi anehnya, setelah kecelakaan itu, Rendi menghilang tanpa jejak. Tak muncul di sidang, tak ada keterangan lanjutan. Hilang seolah ditelan bumi.

Keira menggenggam ponselnya dan menghubungi nomor terakhir yang terekam dalam data pengacara.

"Hallo?"

Suara berat dan penuh curiga menjawab di ujung sana.

"Rendi, ini Keira Aryasena."

Hening.

Lalu terdengar napas tertahan dari seberang.

"Bu Keira...? Saya... saya kira Anda sudah…"

"Meninggal?" potong Keira cepat. "Sayangnya, saya masih hidup. Dan saya ingin tahu, apa yang sebenarnya terjadi malam itu."

Rendi terdengar panik. "Saya... saya nggak bisa bicara sekarang. Mereka masih mengawasi saya..."

"Kalau kau masih punya hati nurani, temui aku besok. Tempat biasa."

Klik.

Panggilan terputus.

Keira menggenggam ponselnya erat-erat. Kali ini, tak akan ada yang bisa menghentikannya.

Keesokan harinya, Keira pergi tanpa memberitahu Adrian. Ia menyamar, mengenakan hoodie dan kacamata hitam, menyusuri gang sempit di daerah Tanjung Barat tempat biasa ia bertemu Rendi dulu saat masih aktif dalam kegiatan sosial perusahaan.

Di ujung gang, seorang pria kurus dengan topi lusuh berdiri gelisah. Saat Keira mendekat, pria itu langsung menunduk.

"Maafkan saya, Bu Keira… Saya tidak berani bicara waktu itu. Tapi saya tahu yang rusak bukan karena kecelakaan biasa. Rem mobil Ibu dimodifikasi. Ada orang yang memaksa saya melakukannya."

Keira mengepalkan tangan. "Siapa?"

"Saya nggak tahu pasti, tapi orang itu suruhan... seorang wanita. Dia hanya memberi perintah lewat perantara. Tapi saya lihat dia sekali, diam-diam... dan saya yakin, itu—"

Tiba-tiba, suara tembakan terdengar.

BRAK!

Rendi terjatuh ke tanah, peluru menembus bahunya. Keira berteriak, memanggil bantuan. Penembaknya kabur dengan motor, tak sempat terlihat jelas.

Darah membasahi tanah.

Namun sebelum pingsan, Rendi menggenggam tangan Keira dan berkata,

"Nama... Nayla... dia... yang suruh saya..."

Di rumah sakit, Keira duduk lemas di bangku tunggu. Dunia seakan runtuh. Orang yang ia sebut sahabat, ternyata menjadi dalang dari semuanya.

Bukan hanya ingin menghancurkan rumah tangganya...

Tapi juga ingin nyawanya.

Malam harinya, Keira pulang ke vila. Adrian menunggu di ruang tengah, wajahnya tegang.

"Kamu ke mana saja?" tanyanya tajam.

Keira menatapnya lurus. "Aku bertemu Rendi."

Adrian tampak terkejut.

"Dan sekarang aku yakin... kecelakaanku bukan kecelakaan. Itu rencana. Dan Nayla… berada di balik semuanya."

Adrian berdiri kaku. Wajahnya pucat. "Apa... kau yakin?"

Keira mendekat perlahan. Matanya tajam, penuh luka. "Ini bukan lagi tentang cinta, Adrian. Ini tentang hidupku... yang pernah diambil. Dan aku akan merebutnya kembali."

Adrian menunduk. "Kalau itu benar... maka Nayla bukan hanya menghancurkanmu. Tapi juga... telah mempermainkanku."

Malam itu, untuk pertama kalinya, mereka tidak bertengkar. Tidak saling menyalahkan.

Mereka berdiri di sisi yang sama.

Melawan musuh yang sama.

Dan Keira tahu...

Perang yang sesungguhnya baru saja dimulai.

Bab 7: Di Balik Senyum Seorang Sahabat

Ruang tamu vila keluarga Khalif tampak tenang, tapi tensi yang melayang di udara terasa seperti bilah tajam tak terlihat. Keira duduk di atas sofa dengan kaki disilangkan, mengenakan gaun hitam sederhana, riasannya lembut tapi elegan. Di hadapannya, wanita yang sudah dianggapnya saudara sendiri Nayla Marissa Aryo tersenyum seolah tak pernah menyimpan dosa.

"Nggak nyangka akhirnya kalian menikah juga," kata Nayla, menyibak rambut panjangnya dengan angkuh. "Aku kira kamu udah menyerah."

Keira tersenyum manis, meski hatinya bergemuruh.

"Takdir memang lucu ya, Nay? Kadang yang dulu kita kira kalah, ternyata cuma sedang mengambil ancang-ancang."

Nayla terkekeh kecil, lalu menyesap teh di hadapannya. "Kamu masih puitis rupanya. Tapi hati-hati, Keira. Hidup di samping pria sekelas Adrian... bukan dongeng. Itu dunia yang penuh duri."

Keira mencondongkan tubuh sedikit, suaranya turun satu oktaf. "Dan aku sudah berdarah karena duri-duri itu, Nay. Tapi sekarang aku tidak akan jatuh lagi."

Di ruang kerja, Adrian memantau kamera CCTV dari ruangan tersembunyi. Ia melihat wajah Nayla di layar, ekspresinya yang dulu manis kini terasa licik di matanya.

"Aku butuh semua rekam jejak komunikasi Nayla selama enam bulan terakhir," perintahnya pada asistennya lewat telepon. "Nomor pribadi, alamat email, bahkan akun palsu sekalipun."

Asistennya menjawab cepat, "Baik, Pak. Tapi ini akan membuka hal yang sangat... pribadi."

Adrian menarik napas panjang. "Kalau itu menyangkut Keira, tak ada lagi yang disebut pribadi."

Malam menjelang. Keira berdiri di balkon kamarnya, memandangi langit yang gelap dan mendung. Di genggamannya, sebuah rekaman suara dari Rendi yang direkam diam-diam sebelum ia tak sadarkan diri.

"Saya pernah dengar Nayla bicara di telepon. Dia bilang: 'Pastikan Keira tak pernah sampai ke pesta itu hidup-hidup. Kalau dia muncul, semua akan kacau. Termasuk rencanaku dengan Adrian.'"

Keira menutup mata, dadanya sesak.

Bukan hanya Nayla mencoba membunuhnya… tapi Nayla juga mengincar Adrian. Mungkin sejak lama.

"Begitu jauh kamu melangkah, Nay…"

Keesokan harinya, Adrian menemui Keira di ruang sarapan. Wajahnya tegang, di tangannya sebuah berkas.

"Semua bukti sudah lengkap," katanya. "Termasuk rekening atas nama fiktif tempat Nayla menerima uang dari investor gelap yang bersaing dengan perusahaanku."

Keira membacanya perlahan. Setiap halaman adalah pengakuan tak langsung bahwa wanita yang selama ini tersenyum di sampingnya... adalah pisau yang siap menusuk dari belakang.

"Kalau kita laporkan ke polisi sekarang," ucap Adrian, "dia akan hancur. Tapi itu terlalu mudah."

Keira menatap Adrian dalam-dalam. "Kamu siap untuk berdiri di pihakku sepenuhnya?"

Adrian menjawab tanpa ragu, "Kali ini... aku tidak akan membiarkanmu bertarung sendirian."

Dan untuk pertama kalinya sejak pernikahan mereka, Keira merasakan sesuatu yang berbeda di dada. Sebuah kehangatan... kepercayaan... dan entah mungkin, sebuah harapan kecil bahwa pria di sampingnya kini tak lagi menjadi luka — melainkan pelindung.

Mereka sudah tidak lagi berpura-pura.

Sekarang, permainan dimulai.

Dan Nayla... harus bersiap menghadapi Keira yang baru bukan sahabat, bukan korban, tapi musuh yang tahu semua kelemahannya.

Bab 8: Perang Dimulai dari Dalam

Vila keluarga Khalif kembali menjadi panggung teatrikal yang diam-diam menyimpan banyak skenario. Hari itu, Keira berjalan menyusuri koridor panjang menuju ruang rapat utama perusahaan milik Adrian. Gaun kerjanya berwarna krem, wajahnya tenang namun tatapannya menusuk. Ia tidak lagi sekadar istri dari seorang CEO. Kini, ia juga bagian dari dewan internal. Atas nama pernikahan, ia punya suara.

Dan suara itu... akan ia gunakan untuk menghancurkan akar-akar busuk yang diam-diam tumbuh di perusahaan ini.

Di ruang rapat, beberapa direksi senior memutar kepala saat Keira masuk. Beberapa memasang wajah hormat, tapi sisanya tampak sinis. Keira tahu, beberapa dari mereka adalah kaki tangan Nayla dibayar untuk menjatuhkan Adrian dan mengalihkan saham.

Tapi Keira tidak datang dengan tangan kosong.

"Maaf saya terlambat," ucap Keira tenang, menaruh berkas di meja. "Tapi saya rasa, laporan yang saya bawa bisa membuat pertemuan ini lebih... menarik."

Ia menyebarkan bukti transaksi fiktif, proyek bayangan, dan penggelapan dana yang selama ini disamarkan oleh 'tim keuangan independen' milik Nayla.

"Apa-apaan ini?" sergah salah satu direksi senior.

Adrian, yang duduk di ujung meja, hanya menyilangkan tangan sambil menatap tajam. "Ini semua bukti asli. Dan mulai hari ini, siapapun yang masih berani mendukung Nayla, akan kami proses secara hukum."

Sementara itu, Nayla duduk di kafenya, menerima kabar dari salah satu informannya. Wajahnya menegang saat mendengar kabar bahwa Keira telah mengambil alih ruang rapat.

"Keira semakin berani rupanya…" gumamnya sambil menatap cermin. Tapi senyum miringnya perlahan muncul.

"Kalau kau pikir permainanmu selesai, Keira... kau salah."

Ia membuka laci tasnya, mengeluarkan flashdisk. Isinya: rekaman audio ketika Adrian pernah mengatakan kalimat fatal pada Keira saat mereka masih berumah tangga dulu.

"Aku menikahimu karena tekanan, Keira. Bukan karena cinta."

Kalimat itu, meski sudah berlalu bertahun-tahun, bisa menjadi senjata mematikan. Bagi citra Adrian. Bagi posisi Keira. Dan Nayla tahu persis di mana dan kapan harus menggunakannya.

Malamnya, Keira berdiri di balkon vila sambil membaca pesan anonim yang baru saja masuk ke email pribadinya.

"Kau pikir kau menang? Aku punya semua rekaman masa lalumu. Jika kau tetap menyerangku, publik akan tahu siapa dirimu sebenarnya."

Keira tidak gentar.

Ia tahu Nayla sedang panik. Tekanan membuat lawan sering membuat kesalahan. Dan itulah yang ia tunggu.

Adrian datang membawa dua cangkir kopi. Tanpa banyak kata, ia duduk di samping Keira dan menyerahkan salah satunya.

"Apa kamu menyesal telah kembali ke hidupku?" tanya Adrian pelan.

Keira menatap langit gelap yang bertabur bintang. Lalu ia menoleh ke arah suaminya.

"Aku tidak pernah menyesal hidup kembali. Tapi aku pernah menyesal mencintaimu... dulu."

Adrian menunduk. "Kalau kau beri aku kesempatan... aku ingin mencintaimu dengan benar — kali ini, tanpa kebohongan."

Keira menatap cangkir di tangannya. Ia belum bisa menjawab.

Tapi untuk pertama kalinya... hatinya tidak sekeras sebelumnya.

Dan itulah yang membuat segalanya menjadi lebih berbahaya.

Untuknya.

Untuk Adrian.

Dan untuk Nayla... yang mulai kehilangan kendali atas segalanya.

Bab 9: Saat Semua Topeng Mulai Runtuh

Hari itu, seluruh koridor lantai 27 kantor pusat Khalif Group dipenuhi bisik-bisik. Keira berjalan tegap menuju ruang CEO bersama asisten pribadinya. Langkahnya cepat dan mantap, membawa segepok dokumen penting di tangannya. Bukan sekadar laporan keuangan biasa melainkan bukti pemindahan aset perusahaan secara ilegal ke rekening luar negeri atas nama perusahaan cangkang milik… Nayla.

Di ruangannya, Adrian sedang berdiri di depan jendela besar, memandangi langit Jakarta yang kelabu.

"Kau harus lihat ini," kata Keira langsung tanpa basa-basi, meletakkan dokumen di mejanya.

Adrian membaca cepat, lalu mendongak dengan wajah tegang. "Ini… semua sudah sejauh ini?"

Keira mengangguk. "Dia tak hanya mencoba menghancurkan kita. Dia mencuri. Dia mencatut nama perusahaanmu untuk investasi ilegal. Jika kita tak bertindak sekarang, publik yang akan menghukummu."

Adrian menutup dokumen, rahangnya mengeras. "Kita akan bertindak."

Di tempat lain, Nayla tengah berada di hotel mewah kawasan SCBD. Ia baru saja keluar dari spa ketika teleponnya berdering.

"Bu Nayla… proyek dana Swiss-nya bocor. Ada penyelidikan internal. Kami disarankan untuk membekukan transaksi."

Nayla mencengkeram ponselnya. "Apa?! Siapa yang berani…?"

Namun ia sudah tahu jawabannya.

Keira.

Wanita yang dulu ia pandang lemah dan mudah diatur. Wanita yang dengan senyumannya bisa ia manfaatkan sesuka hati. Kini, wanita itu kembali… sebagai ancaman yang nyaris tak bisa ia kendalikan.

Malam itu, Keira dan Adrian memanggil Nayla ke vila. Dengan dalih membahas kerja sama proyek, Nayla datang, masih mengenakan gaun putih elegan dan senyum liciknya.

"Wah, reuni kecil rupanya," ucap Nayla sinis sambil duduk.

Keira tak membuang waktu. Ia menyodorkan dokumen ke meja.

"Aku tahu semua, Nay. Bahkan lebih dari yang kamu kira."

Nayla menyipitkan mata. "Apa maksudmu?"

"Pemalsuan dokumen, pencucian uang, bahkan keterlibatanmu dalam insiden kecelakaan lima tahun lalu. Rendi sudah sadar. Dan dia sudah bersaksi."

Wajah Nayla memucat untuk sesaat, tapi ia tersenyum paksa. "Saksi? Keira… kamu benar-benar keterlaluan. Kamu menuduhku tanpa bukti?"

Keira menyalakan layar proyektor di ruang tamu. Terlihat rekaman kamera tersembunyi saat Nayla bertemu salah satu kaki tangannya dan menyebutkan rencana menggantikan posisi Keira di perusahaan dan… di sisi Adrian.

Adrian menatap Nayla dengan sorot mata kecewa. "Aku percaya padamu dulu. Terlalu dalam."

Nayla berdiri, emosinya tak lagi bisa ditahan. "KALIAN BERDUA PANTAS MENDERITA! KAU, KEIRA! KAU MERAMPAS SEMUANYA!"

Keira maju perlahan. "Bukan aku yang merampas. Kau yang menghancurkan semuanya dengan kebencianmu."

Tangisan dan tawa Nayla bercampur. Ia akhirnya diantar keluar oleh satpam pribadi Adrian. Malam itu… seluruh topeng runtuh.

Setelah Nayla pergi, Keira duduk lemas di sofa. Adrian duduk di sebelahnya.

"Kau menang," katanya pelan.

Keira menatapnya, lirih. "Ini bukan tentang menang atau kalah. Ini tentang menutup luka lama. Tentang aku… menemukan kembali diriku."

Adrian menggenggam tangan Keira.

"Aku ingin menjadi bagian dari dirimu yang baru… jika kau mengizinkan."

Keira menoleh. Untuk pertama kalinya, ia tidak menepis. Ia membiarkan genggaman itu tetap ada.

Dan malam itu… bukan hanya topeng yang runtuh.

Tapi juga dinding di antara dua hati yang selama ini terpisah oleh masa lalu.

Bab 10: Cinta yang Tidak Pernah Mati

Pagi itu, mentari menyelinap perlahan ke dalam kamar Keira dan Adrian. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, mereka tidur berdampingan tanpa sekat secara harfiah maupun emosional. Keira membuka matanya perlahan dan menemukan tangan Adrian masih menggenggam jemarinya.

Hati kecilnya gemetar. Ia tak pernah mengira bisa merasakan ini lagi: hangat, damai… dan tenang. Seolah luka masa lalu mulai dijahit, perlahan, dengan ketulusan yang selama ini ia ragukan.

Adrian membuka matanya, tersenyum kecil. "Pagi."

Keira menoleh padanya. "Kamu masih di sini."

"Dan aku akan tetap di sini. Selama kamu belum menyerah padaku."

Keira hanya diam, tapi tidak melepaskan genggamannya.

Di lantai bawah, para staf sibuk mempersiapkan acara makan malam keluarga Khalif yang akan digelar malam nanti. Kali ini berbeda bukan sekadar formalitas bisnis. Ini adalah momen untuk memulihkan nama baik Adrian setelah pemberitaan Nayla tersebar dan membuat kegemparan di media sosial serta dunia bisnis.

Nayla kini resmi ditahan setelah penyelidikan internal dan pengakuan dari saksi-saksi kuat. Semua koneksinya diputus, dan kini publik mulai kembali melirik Adrian sebagai pemimpin yang berani melawan pengkhianatan di lingkaran terdekatnya.

Namun di balik kemenangan ini, Adrian tahu: semua ini tidak akan mungkin terjadi tanpa Keira.

Sore harinya, Keira berdiri di depan cermin besar di kamarnya. Ia mengenakan gaun navy elegan yang memeluk tubuhnya dengan anggun. Tak ada jejak luka di wajahnya, hanya ketegasan dan kedewasaan yang tumbuh dari segala rasa sakit.

Ketukan lembut di pintu membuatnya menoleh. Adrian masuk, mengenakan setelan jas hitam dengan dasi biru gelap yang senada.

"Kamu cantik sekali malam ini," bisiknya.

Keira tersenyum kecil. "Kamu juga tak buruk, Tuan Khalif."

Adrian mendekat, lalu dengan perlahan mengambil sesuatu dari saku jasnya.

Sebuah cincin berlian putih kecil, tidak mencolok, tapi bersinar lembut.

"Aku tahu kita menikah karena situasi. Dan aku tahu aku pernah menyakitimu lebih dari sekali. Tapi kali ini... izinkan aku memintamu untuk tetap tinggal. Bukan karena masa lalu. Tapi karena masa depan."

Keira menatap cincin itu lama. Lalu menatap mata Adrian.

"Kamu yakin ingin masa depan bersama perempuan yang pernah mati karena cintanya padamu?"

Adrian tersenyum lemah. "Karena itulah... aku ingin mencintaimu dengan hidupku yang sekarang. Bukan lagi sebagai Adrian yang dulu."

Keira menghela napas. Tangannya gemetar saat menyentuh cincin itu.

"Aku tidak tahu bagaimana masa depan kita. Tapi aku tahu satu hal aku tidak ingin hidup lagi... tanpa menyelesaikan kisah ini."

Dan untuk pertama kalinya… Keira mencium Adrian.

Perlahan.

Dalam.

Dan penuh makna.

Malam itu, mereka berdiri berdampingan di aula besar bersama para kolega dan keluarga. Media mengambil foto, semua tamu memberi ucapan selamat. Tapi yang paling penting… Keira tak lagi berdiri sebagai istri yang dilupakan.

Ia kini adalah partner sejati, pejuang, dan wanita yang kembali dari kematian untuk mengambil takdirnya kembali.

Dan di sebelahnya, Adrian Khalif tak lagi menjadi sosok yang dingin dan terpenjara masa lalu.

Ia kini pria yang belajar mencinta dengan cara yang benar.

Cinta mereka mungkin terlambat.

Tapi cinta yang lahir dari luka... seringkali lebih kuat dari apa pun.

TAMAT

More Chapters