(Bagian 1)
Angin kering berhembus kencang, membawa aroma belerang dan abu dari lembah yang membentang luas di bawah kaki Ye Tian. Di hadapannya, terbentang jurang hitam berisi sungai api yang berputar seperti naga menyusuri celah bumi. Tempat ini dikenal sebagai Lembah Neraka, wilayah terlarang di perbatasan Kekaisaran Timur.
Jejak kaki membara tertinggal di tanah hangus tiap kali Ye Tian melangkah. Aura kegelapan dari tubuhnya seolah berseteru dengan hawa panas yang berasal dari dasar jurang. Langit di atasnya kelam—bukan karena malam, tapi karena asap hitam tebal yang mengepul tanpa henti.
"Di tempat ini..." bisiknya pelan, "...api surgawi dan darah leluhur pernah bertarung hingga langit terbelah."
Kilatan kenangan melintas di benaknya—bayangan pertempuran kuno, pekikan naga, dan hujan darah. Entah bagaimana, ia tahu bahwa darah dalam tubuhnya terikat pada tempat ini. Sesuatu yang kuat memanggilnya dari kedalaman lembah, seolah ada segel lama yang ingin dibuka kembali.
Langkahnya tak ragu, meski batu-batu di sekitarnya retak karena tekanan spiritual yang menyesakkan. Aura dari dalam tubuhnya—kutukan darah langit—beresonansi dengan energi lembah, menimbulkan denyutan nyeri di dadanya.
Tiba-tiba, tanah di hadapannya bergetar. Dari balik kabut merah yang menggantung, muncul sesosok makhluk tinggi, berbadan api dan bermata hitam pekat. Suaranya dalam dan menggema, seperti bara yang meledak:
"Pewaris darah langit... Kau tak seharusnya berada di sini."
Ye Tian menatapnya tanpa gentar. Suaranya tenang, tapi menggema seperti guntur di ruang sunyi, "Aku datang bukan untuk meminta izin... Aku datang untuk mengambil apa yang menjadi hakku."
Makhluk itu meraung. Asap menyelimuti sekelilingnya, dan api menjilat tanah. Tapi Ye Tian tak mundur. Aura kutukan dalam tubuhnya menyembur keluar, memecah hawa panas, dan membuat udara bergetar.
Pertarungan tak terhindarkan.
---
(Bagian 2) warisan yang terkunci dalam darah
Makhluk penjaga itu melangkah maju. Setiap hentakan kakinya membakar tanah, menciptakan jejak-jejak bara menyala yang berdesis di bawah panas yang tak tertahankan. Namun Ye Tian tetap berdiri tegak, rambut dan jubahnya berkibar liar tertiup badai aura yang meletup dari makhluk itu.
"Aku adalah lidah api dari era sebelumnya," makhluk itu mengaum. "Penjaga warisan yang terkubur dalam darah dan dosa."
Ye Tian mengangkat tangan kanannya. Cahaya hitam kelam muncul dari telapak tangannya, membentuk pusaran kecil yang memutar lambang darah langit—tiga garis silang merah menyala yang mulai menyala di dadanya. "Kalau begitu... hancurlah bersama era yang telah musnah," ucapnya dingin.
Dalam sekejap, tubuh Ye Tian melesat bagaikan kilat hitam. Ia mengayunkan pukulan lurus yang membelah udara, menghantam tepat ke arah dada makhluk penjaga itu. Suara ledakan mengguncang lembah, menciptakan gelombang tekanan yang menyapu debu dan abu ke segala arah.
Makhluk itu mengerang. Namun, bukannya roboh, ia justru melebarkan sayap api dari punggungnya. Sayap itu melambung tinggi, menyemburkan kobaran panas yang membentuk pedang api, mengarah ke langit dan berjatuhan seperti hujan meteor ke arah Ye Tian.
Ye Tian bergerak cepat. Tubuhnya menghilang dan muncul kembali dalam sekejap, menari di antara hujan api. Setiap gerakan diiringi dentuman aura, setiap langkah meninggalkan jejak bayangan gelap yang berkedip-kedip.
Tiba-tiba, dari dalam tanah, sebuah suara berbisik:
> "Darahmu memanggil warisan... Namun, warisan membawa kutukan..."
Ye Tian menghentikan gerakannya. Matanya menyipit. "Suara ini... bukan dari penjaga itu."
Dari dasar lembah, sebuah simbol kuno mulai menyala. Tiga formasi spiritual raksasa muncul dalam bentuk lingkaran bersusun, dan di tengahnya tampak sebuah peti batu berwarna merah darah—terikat rantai besi hitam dan segel kuno yang berdenyut seperti jantung.
Penjaga api menatap peti itu, lalu kembali memandang Ye Tian.
"Kau memang layak... tapi hanya darahmu yang dapat membuka segel itu."
Ye Tian menggenggam tinjunya, darah menetes dari telapak tangannya yang retak karena benturan sebelumnya. Ia melangkah maju, mendekati peti itu, lalu meletakkan telapak tangannya di atas permukaannya yang dingin.
Saat darahnya menyentuh batu, segel itu retak. Cahaya merah menyala ke langit. Tanah berguncang.
> "Warisan Darah Langit... telah ditemukan."
(Bagian 3) Segel darah langit terpecah
Cahaya merah darah meledak dari dalam peti batu kuno, menerangi seluruh lembah hingga langit tampak seperti terbakar. Suara logam beradu dan rantai yang terputus menggema, seperti jeritan para leluhur yang terbelenggu selama ribuan tahun.
Ye Tian berdiri diam, namun aura dari tubuhnya mulai berubah. Simbol darah langit di dadanya bersinar terang, membuat sekujur tubuhnya memancarkan kilatan merah kehitaman. Darah yang menetes dari telapak tangannya seolah tidak lagi mengalir ke tanah, melainkan diserap oleh peti yang kini mulai terbuka sedikit demi sedikit.
Kreeeaaakkk...
Tutup batu yang berat bergerak perlahan, mengeluarkan uap hitam pekat yang menjulang ke langit. Dari celah yang terbuka, tampak seberkas cahaya kristal berwarna ungu tua, berdenyut seperti jantung yang baru bangun dari tidur panjang.
Suara bisikan kuno bergema dari dalam:
> "Jika darahmu murni... maka kutukan akan menjadi kunci... dan kunci akan membuka jalan kehancuran."
Tiba-tiba, tanah di sekitar Ye Tian retak hebat. Simbol spiritual yang semula menyala indah berubah menjadi lingkaran api ungu yang menyala liar. Lembah itu mulai bergetar, dan batu-batu raksasa terangkat ke udara tanpa kendali.
Penjaga api sebelumnya yang sempat terluka parah kini berlutut, tubuhnya mengecil dan berubah menjadi roh api murni. Ia berbicara dengan suara lirih namun penuh hormat, "Warisan... telah memilih tuan barunya."
Ye Tian tidak menjawab. Matanya kini menatap langsung ke dalam peti batu, ke arah benda misterius yang kini mengambang dalam lingkaran cahaya: sebuah fragmen inti berbentuk serpihan perak merah, dengan urat-urat hitam yang merayap di permukaannya. Itu bukan sekadar warisan—itu adalah sisa dari tubuh Dewa Berdarah Langit, leluhur pertama yang dikutuk oleh langit sendiri.
Begitu fragmen itu mengambang di depan dada Ye Tian, tubuhnya seolah tersedot ke dalam pusaran dimensi. Seketika itu juga, suara dunia menghilang. Waktu membeku.
Ye Tian terbangun dalam ruang hampa gelap. Di hadapannya berdiri sesosok siluet raksasa bersayap, bermata merah menyala, dan bertanduk patah.
> "Apakah kau... siap menanggung beban kekuatan yang bahkan langit sendiri ingin musnahkan?"
Ye Tian menjawab tanpa ragu, suaranya dalam dan mengglegar:
> "Jika langit takut padanya... maka akulah yang akan melawan langit."
---