Cherreads

Chapter 6 - Bab 6 – Sekte Langit Menolak Pewaris

Matahari pagi memerah dari balik pegunungan, menyemburkan sinar manja yang memaksa pandang Gohan terjaga. Gua yang selama ini menjadi tempat persembunyian berubah jadi depot aroma rempah dan dupa. Ada aliran aura baru: tersusun rapat dan menjulang, khas ibadah sekte besar.

Gohan mengerjap. Yue dan Maestro ada di sisinya. Qin Rouye berdiri tegak, wibawa di wajahnya—namun juga ada raut gelisah. Mereka akan memasuki Ranah Kultivasi Awal, tempat Sekte Langit Tengah berdiri, mencanangkan sekte untuk pemula, tetapi dengan pengaruh yang luas.

Sekarang Gohan resmi mendaftar sebagai murid sekte.

Saat tiba, aula penerimaan luas bagai singgasana suci. Deretan batu ukir naga dan awan berpadu di dinding. Para murid pemula berdiri dalam barisan rapi—senyum, lirikan, dan ketakutan bercampur.

Petugas sekte memanggil nama Gohan. Semua mata terpaku. Gohan menatap lantai, tangan menggenggam pedang hitam di punggung.

Saat ia melangkah, semua pedang latihan di pinggir aula—pedang kayu maupun kristal—langsung legowo; bergetar, lalu tepat menancap ke lantai, seolah menunduk hormat. Aura tak kasat mata membuat udara membeku.

Ruangan bergemuruh: "Apa?" "Gila!" "Pedang tunduk pada murid baru?" Para murid saling berpandangan mencurigakan.

Gohan semakin menegang. Aura pedang hitam semakin tebal, menghimpit dada. Ia tidak minta dihormati; ia ingin normal. Namun simbol itu menandakan sesuatu besar—bahwa dia tak biasa.

Saat suku kata pendaftaran selesai, mereka melangkah ke ruang ujian spiritual: alat berbentuk batu prisma dan cincin cahaya. Cahaya hijau mengelilingi masing-masing murid—harus melewati dan terbukti tak menciptakan kekacauan energi.

Satu per satu murid berhasil. Ketika Gohan berjalan masuk, aura emas dan hitam menyebar. Awalnya alat nada biasa bereaksi: berwarna merah muda—bahaya tapi spektakuler. Cahaya perlahan makin terang... makin tajam...

Dan kemudian... boom!

Prisma itu meledak. Cahaya gemuruh mengamuk, percikan listrik kecil bersinar, dan cincin cahaya runtuh dengan gemeretak.

Semua orang berbalik; pedang latihan semakin rapuh—tak kuat menahan getaran kekuatan Gohan. Pemula langsung mundur, beberapa histeris: "Zonk! Reject! Ditolak! Pewaris ketujuh ini gila!"

Gohan terdiam, jantungnya berdegup keras. Maestro mendekat, menepuk punggungnya: "Tenang. Ini artinya kau lebih dari cukup."

Tetapi suasana gaduh tak reda. Qin Rouye menahan senyum pahit: "Ya ampun... kau benar-benar pewaris yang ditakuti." Yue mengeratkan tangan di tangan Gohan—menenangkannya.

Beberapa senior guru keluar, mata mereka tajam. Salah satu Patriark Sekte Langit Tengah, pria bertopi lebar dan jubah hitam, mendekati Gohan, bicara lembut tapi lugas:

"Pewaris... kekuatanmu besar, tapi tak terkendali. Kami heran kau bisa berjalan sampai sini, apalagi memiliki pedang yang mengamuk."

Gohan menelan air liur, meski tubuhnya gemetar. "Saya... mohon jadi murid, saya ingin belajar mengendalikan diri."

Dia tahu—kata "kendali" menentukan antara diterima atau disingkirkan. Para murid saling mencibir. Qin menghela napas, menunggu keputusan.

Ketika Patriark seolah hendak menolak, sebuah suara lembut memotong: Yue Xiulan maju. "Ya, dia berbahaya. Tapi saya tahu, Gohan punya ketulusan dan kemauan keras."

Ruangan hening. Patriark menatap tajam ke Yue. Gohan membeku—apa Yue nekat mendukungnya?

Yue menyambung: "Baru saja ia menyelamatkan saya dari bom... bom... pintu rahasia. Jika ia mampu menahan kekuatannya, ia bisa bermanfaat bagi semua."

Seketika, beberapa murid senior murung. "Hmm..." Patriark mengamati Gohan dari ujung mata, menimbang. Jiwa politik sekte menari.

Sebagai murid baru "berbakat", Gohan harus mengikuti duel latihan—lawan Qin Rouye, murid elit yang juga pewaris klan naga. Aula latihan dipenuhi penonton.

Qin menyerang dengan gelombang naga biru. Gohan bertahan—darah emasnya memancar, menahan gelombang; pedang hitamnya bergetar.

Kedua saling adu rasa, bukan hanya pedang: emosi, strategi, keraguan. Gohan membalas dengan ayunan halus, mematahkan beberapa formasi Qin. Pernah Qin nyaris menakluk, darah emas Gohan menyala dan menciptakan benteng energi, merefleksikan sayap naga mini—menakjubkan.

Penonton tercengang. Qin sendiri terpaku—yakni dia sempat kalah aura satu putaran.

Namun Patriark membunyikan tanda: duel selesai. "Kalian berdua—cukup."

Rasa puas dan syok bercampur. Qin menatap Gohan panjang: "Khaps... kamu bukan anak desa lagi." Gohan hanya tersenyum sendu—ia tahu perjalanan belum selesai.

Malam itu, Gohan duduk sendiri di teras asrama. Hanya diterangi cahaya lilin dan suara serangga malam. Ia masih resah—antara euforia diterima dan ancaman tersembunyi.

Pelan, sebuah sosok menyelinap masuk: Han Bei, murid rangkap mata-mata. Ia duduk di dekat Gohan, menunduk: "Tuan Gohan... elok kau hati-hati. Sekte elit di bawah Patriark Qin sudah bergerak. Mereka ingin kau mundur, letakkan pedang dan keluar sebelum benda kuno terlalu besar."

Gohan menatapnya. "Aku bukan murid klan besar—aku pewaris langit. Mereka harus belajar menghormati, bukan menolak."

Han Bei menggeleng: "Mereka tak ingin menghormati. Mereka takut. Dan kamu adalah tunggangan… Tapi aku bisa jadi mata. Hal-hal ganjil sudah terjadi: penerbangan malam di dekat gua... mereka mencuri aura pedangmu."

Gohan menutup mata. Perlahan angin menerpa, mengaduk aura darahnya. Ia tahu: waktu ia bernapas, dunia sudah dipantau.

Keesokan harinya, Yue datang membawa secarik kertas dan cincin kecil—kontrak spiritual simbolik. "Ambil ini. Aku tidak akan tinggal diam. Klan Bulan bersamamu."

Gohan menyentuhnya penuh haru—meski platonik, komitmen itu berat. "Terima kasih... aku akan jaga agar darah emas ini tetap suci."

Yue menatapnya panjang—dengan genangan keraguan: "Jangan lupa... segel itu bisa retak jika disalahgunakan."

Malamnya mereka menghadiri ritual api dan awan—diiringi doa agar pewaris baru bisa ajar dan membantu sekte. Api biru dan mantra kristal menari, sementara Gohan menaikkan aura darah ke permukaan, memperlihatkan aliran emas yang harmonis—tapi juga menimbulkan aura hitam samar.

Beberapa senior menahan napas—antara kagum dan curiga. Gohan merasa dunia penuh ketidakpastian.

Tiba-tiba langit pecah. Deretan guntur sembilan—kelarung liar, membelah langit dan menerjang area latihan. Semua peserta kaget. Pedang latihan tiba-tiba ikut bergetar, bahkan sekte tua menutup pintu ritual.

Guntur terakhir menukik dengan sempurna, lalu… lenyap.

Gohan merasakan dingin menjalar. Darahnya mengalir lebih cepat.

Ia tahu: itu bukan alam. Itu pesan—bahwa dunia luar bereaksi terhadap darah emasnya. Sembilan guntur? Jumlah sakral. Apakah ini pertanda laga besar akan segera dibuka? Apakah ini ancaman nyata dari Zhao Wuji atau sekte lain?

Dalam bayangan, Gohan melihat siluet sosok berbaju hitam—Zhao Wuji—menatap licik, pedang hitamnya terbalik. Mata Wuji menyala merah marah: "Pewaris... nasibmu akan jadi akhir atau awal."

Kilasan cepat itu menghilang, tapi cukup menjadikan darah Gohan bergetar.

Saat ritual selesai, Gohan berdiri di podium kecil, menatap para murid. Ia menganang — ada hawa tak nyaman. Ia tak bicara tentang kekuatan; ia bicara tenteng hati:

"Kadang kekuatan besar datang di saat kita terjatuh paling dalam. Aku sama seperti kalian—namun dengan darah berbeda. Jangan takuti aku, tapi tuntut aku untuk membuktikan diri lewat niat, bukan aura."

Suasana hening sesaat. Qin menyiratkan hormat. Yue menetes air mata kebanggaan. Han Bei membungkuk dengan kepala tertunduk penuh rahasia.

Namun sebelum tepuk tangan pecah, langit malam kembali pecah—kilatan biru dan hijau membentuk persembahan naga melingkar di atas aula. Tanpa dentuman suara, tanpa petir.

Pedang Gohan di pinggang bergetar dan memancarkan cahaya—hitam dalam lapisan naga hijau. Sebuah suara bergemuruh turun menembus sanubari:

"Belum waktumu—pecahkan segel dulu."

Semua orang terdiam; penduduk sekte terpaku.

Gohan menelan ludah. Tubuhnya menggigil. Ia tahu: tantangannya bukan lagi mempertahankan diri -- tapi menjawab panggilan naga sekaligus menentang kutukan darahnya sendiri.

Dan dengan pandangan dingin ke langit malam yang bergentayangan, Gohan berbisik: "Ambil... aku siap."

More Chapters