Bab 19 – Serpihan Aksara Kuno dan Tekad yang Semakin Terang
Waktu di Lembah Lumina'val berjalan dengan ritme yang berbeda, tenang dan anggun, namun bagi Elara, setiap hari adalah kesempatan baru untuk belajar, bertanya, dan… sedikit membuat kekacauan dengan caranya sendiri. Elara kini telah menginjak usia sebelas tahun. Tubuhnya semakin tinggi, dan rambut pink peraknya yang dulu sering berantakan kini lebih sering ia kuncir asal-asalan agar tidak mengganggu aktivitasnya.
Sifat cerewetnya memang tidak hilang, tapi kini lebih sering diiringi pertanyaan-pertanyaan yang lebih dalam kepada Lyris atau para tetua Elf lainnya. "Kenapa bintang-bintang bersinar? Apakah ada kehidupan di sana? Kenapa Ras Cahaya harus berpisah dari Ras Manusia jika mereka saling menyayangi?" Pertanyaan-pertanyaan yang kadang membuat para Elf yang bijak sekalipun tersenyum dan berpikir keras untuk menjawabnya dengan cara yang bisa dipahami anak seusianya.
Sifat manjanya pun mulai terkikis oleh rasa tanggung jawab kecil yang ia emban. Ia masih suka diperhatikan, tapi kini ia lebih senang jika perhatian itu didapat karena ia berhasil melakukan sesuatu yang berguna. Misalnya, ketika ia berhasil membantu Lyris merawat tanaman obat langka menggunakan energi cahaya dari tangannya, membuat tanaman itu tumbuh lebih subur dari biasanya. Kemampuan penyembuhan alaminya semakin berkembang; ia bahkan bisa menenangkan hewan hutan kecil yang terluka hanya dengan sentuhan dan nyanyian lembutnya, diiringi pendaran cahaya hangat dari telapak tangannya.
"Cahayamu memiliki kehangatan yang unik, Elara," ujar Lyris suatu hari, mengamati Elara yang sedang "berbicara" dengan seekor kelinci hutan yang kakinya terkilir. "Bukan hanya menyembuhkan fisik, tapi juga menenangkan jiwa."
Namun, kegigihannya untuk melakukan segalanya sendiri seringkali masih berujung pada kegagalan-kegagalan kecil yang lucu. Ia masih belum mahir memanah seperti anak Elf seusianya, dan usahanya untuk mempelajari sihir alam dasar seringkali berakhir dengan tanaman yang malah layu atau angin sepoi-sepoi yang datang di waktu yang salah. Tapi ia tidak pernah kapok.
"Hmph, mungkin tanaman ini saja yang lagi tidak mood diajak bicara!" gerutunya suatu kali saat gagal membuat bunga malam mekar di siang hari.
Beberapa waktu terakhir, didorong oleh rasa penasaran yang semakin besar akan asal-usulnya, Elara sering menghabiskan waktu di perpustakaan kuil Lumina'val. Tentu saja, ia tidak diizinkan masuk ke arsip terlarang lagi setelah insiden sebelumnya. Tapi ia menemukan cara lain: ia berteman dengan Elros, seorang Elf muda yang bertugas sebagai penjaga perpustakaan. Dengan sedikit bujukan (dan janji akan memberinya buah lumina berry paling manis dari pohon kesayangannya), Elros kadang membiarkannya melihat beberapa gulungan perkamen tua yang menceritakan sejarah ras-ras kuno.
Di sanalah, pada suatu sore yang tenang, saat Elros sedang terlelap di mejanya, Elara menemukan sebuah fragmen perkamen kecil yang terselip di antara gulungan besar tentang sejarah Ras Elf Sylvarian. Fragmen itu tampak sangat tua, tulisannya menggunakan aksara Ras Cahaya kuno yang samar-samar bisa ia kenali—seolah ada ingatan leluhur yang membantunya.
Dengan jantung berdebar, ia mencoba membacanya. Aksaranya rumit, banyak yang pudar, tapi beberapa kata berhasil ia eja:
"…Pecahan… takdir… dua jiwa… penyatu… kegelapan mengintai… saat Bintang Kembar…"
Tiba-tiba, liontin matahari separuh di lehernya terasa hangat. Cahaya lembut memancar dari liontin itu, menyinari fragmen perkamen di tangannya. Untuk sesaat, beberapa aksara yang tadinya pudar tampak lebih jelas:
"…darah Cahaya dan Senja… akan menuntun jalan… di bawah tatapan Bintang Kembar Merah…"
"Bintang Kembar Merah?" bisik Elara pada dirinya sendiri. Ia pernah mendengar legenda tentang konstelasi itu dari cerita pengantar tidur Lyris—sebuah konstelasi langka yang hanya muncul setiap beberapa dekade sekali, dan sering dikaitkan dengan perubahan besar atau takdir yang tergenapi.
Saat itu, Elros terbangun dan melihat Elara dengan fragmen perkamen itu. Wajahnya sedikit panik.
"Elara! Apa yang kau lakukan? Itu… itu bagian dari catatan terlarang!"
Elara buru-buru menyembunyikan fragmen itu, meski ia tahu Elros sudah melihatnya.
"Maaf, Elros… aku hanya… penasaran."
Elros menghela napas. Ia tidak tega memarahi Elara sepenuhnya. "Fragmen itu… berbahaya, Elara. Isinya tentang ramalan-ramalan kuno yang bahkan para tetua pun enggan membahasnya. Sebaiknya kau lupakan saja."
Tapi Elara tidak bisa melupakannya. "Pecahan takdir… dua jiwa penyatu… Bintang Kembar Merah…" Kata-kata itu terus terngiang di benaknya. Apakah ini ada hubungannya dengan dirinya? Dengan orang tuanya?
Malam itu, ia tidak bisa tidur. Ia keluar ke balkon kamarnya, menatap langit yang bertabur bintang. Ia mencari-cari Konstelasi Bintang Kembar Merah, tapi tidak menemukannya. Mungkin belum waktunya.
Sebuah tekad baru yang lebih kuat dari sebelumnya membara dalam hatinya. Ia tidak akan menunggu takdir datang padanya. Ia akan mencari tahu sendiri arti dari semua ini. Fragmen perkamen itu adalah petunjuk pertamanya, dan ia akan menjaganya baik-baik.
"Aku harus menjadi lebih kuat," gumamnya, menatap kepalan tangannya yang berpendar samar dalam kegelapan. "Aku harus belajar lebih banyak. Suatu hari nanti, aku akan mengerti semua ini. Dan aku akan menemukan… tempatku yang sebenarnya."
Lembah Lumina'val mungkin masih menjadi sangkar emasnya, tapi Elara tahu, sayapnya mulai tumbuh, merindukan langit yang lebih luas, merindukan jawaban yang tersembunyi di antara bintang-bintang dan bisikan takdir. Dan di suatu tempat, seorang bocah pengembara juga tengah menapaki jalannya sendiri, mencari kekuatan dan keseimbangan, di bawah langit yang sama.