Cherreads

Chapter 4 - BAB 4 – SERPIHAN DI TEPI JALAN

Mobil Angga meluncur pelan di sepanjang jalur tol sore itu. Hujan baru saja reda, menyisakan jalanan basah yang memantulkan langit abu-abu.

Di dalam mobil, suasana cukup sunyi.

Di kursi depan duduk Dina, sesekali memandangi jalanan dengan wajah tegang. Di belakang, Bima sibuk menyiapkan kamera DSLR miliknya, mengecek baterai dan kartu memori. Ia bahkan membawa senter UV kecil yang biasa dipakainya untuk berburu urban legend.

“Gue gak percaya kita beneran ke tempat ini siang-siang,” gumam Dina sambil merapatkan jaket. “Gak tahu kenapa, suasananya tetep bikin merinding.”

“Justru itu,” kata Angga tanpa menoleh. “Kalau kita tunggu malam, kita bisa aja gak balik.”

Mobil memperlambat laju ketika tanda KM 67 muncul di kejauhan. Angga menyempil ke bahu jalan dan akhirnya berhenti di dekat jalur miring dengan garis kuning tua tempat yang sudah membekas di ingatannya.

Tempat pertama kali ia melihat Windi.

Mereka turun. Udara terasa lebih dingin dari biasanya. Kabut tipis menggantung di rerumputan tepi jalan, meski matahari masih tersembunyi di balik awan.

“Gue merinding, sumpah,” kata Bima sambil mengarahkan kamera ke jalan.

Dina membuka ponselnya. “Gue rekam juga pakai HP. Siapa tahu ada yang muncul kalau kita slow-motion nanti.”

Mereka mulai menyisir area sekitar. Langkah mereka hati-hati, menyusuri tepi aspal, memeriksa rumput dan lubang kecil di dekat pembatas jalan.

Dan akhirnya...

“Ga!” seru Bima. “Sini deh. Liat ini.”

Angga mendekat.

Di bawah semak kering, terselip pecahan kaca kecil. Bukan dari botol, tapi dari lampu depan kendaraan. Kacanya sudah usang, tapi masih memantulkan cahaya samar.

Di dekatnya, tanah tampak seperti pernah tergali... lalu ditimbun asal-asalan.

“Bekas garis polisi juga masih kelihatan,” kata Dina, menunjuk jejak garis kuning pudar di aspal yang nyaris hilang dimakan waktu.

“Ini...” gumam Angga pelan, “...lokasi kecelakaan. Tapi gak ada laporan. Gak ada penanda. Seolah sengaja gak dicatat.”

Bima mengarahkan kameranya ke area itu.

Lalu tiba-tiba, layar kamera mati total.

“Apa kameranya lowbatt?” tanya Dina cepat.

“Enggak,” jawab Bima panik. “Baterai full. Gue baru ngecas tadi pagi.”

Ia menyalakan ulang kamera. Layar sempat berkedip sebentar... lalu kembali mati.

Angga meraih kamera dari tangan Bima. Ia mencoba menyalakannya sendiri. Saat tombol ditekan, layar hanya menampilkan visual statis hitam-putih beberapa detik, lalu padam sepenuhnya.

“Ini kayak... sinyal terganggu atau semacam medan,” bisik Angga.

“Medan... gaib?” Dina menatapnya tajam.

Belum sempat mereka membahas lebih jauh, Dina tersentak. Ia menoleh cepat dan menyentuh bahunya sendiri.

“Ada yang... nyentuh gue,” ucapnya dengan suara kecil.

“Apaan?” tanya Angga langsung berjaga.

“Kayak... jari. Tapi dingin. Di sini.” Ia menunjuk pundak kirinya.

Mereka bertiga saling pandang.

Seketika itu juga, suasana berubah. Udara sekitar mereka mendadak lebih sunyi, terlalu sunyi. Seperti suara angin, serangga, dan lalu lintas menghilang begitu saja. Hanya ada mereka, di tengah jalanan yang terasa... terisolasi dari dunia.

“Gue gak suka ini, Ga,” ujar Bima pelan. “Kita gak sendirian.”

Angga mengangkat cincin milik Windi yang digantung di kalung lehernya. Cincin itu sedikit bergetar, seperti memberi peringatan.

“Dia di sini,” gumam Angga. “Windi...”

Angin bertiup kencang tiba-tiba, membuat rambut Dina berantakan dan kamera Bima hampir jatuh.

Dan dalam debu yang terbawa angin, sosok perempuan tampak berdiri di kejauhan.

Di ujung tikungan jalan, siluet itu hanya diam menatap mereka. Rambut panjangnya tertiup ke depan wajah, tubuhnya tak bergerak.

“Jangan mendekat,” kata Angga cepat, menahan langkah Dina.

“Lo yakin itu Windi?”

Angga mengangguk pelan. “Iya... tapi dia gak mau kita lihat terlalu dekat.”

Namun meski mereka diam di tempat, sosok itu perlahan menghilang seperti kabut.

Meninggalkan hanya satu hal: bekas jejak kaki di atas tanah yang tak mungkin dipijak manusia... karena tanah itu miring dan lunak.

Dina perlahan melangkah mendekat dan berjongkok. Ia menunjuk sesuatu di antara rumput dan bebatuan.

“Kancing,” bisiknya. “Ada inisialnya... W.O.”

Angga meraihnya.

Kancing baju. Usang. Ada bekas karat di pinggirnya. Tapi jelas tertulis huruf “W.O.” seperti terukir tangan.

“Windi Oktavia,” gumam Bima.

Tak ada yang bicara setelah itu.

“Berarti ini... sisa pakaiannya?” tanya Dina perlahan, seolah takut mendengar jawabannya sendiri.

Angga hanya mengangguk, tatapannya kosong memandang kancing kecil itu.

Kancing dengan inisial nama Windi ditemukan di dekat lokasi yang nyaris tak terlihat manusia biasa, di antara semak-semak dan tanah miring yang tampak seperti pernah diganggu.

Bima berdiri sambil menatap sekeliling. “Kalau ada ini, berarti bisa jadi jasadnya masih di sekitar sini...”

“...dan belum pernah ditemukan,” lanjut Angga.

Tiba-tiba suara dengkuran rendah terdengar dari arah semak di sebelah kanan. Seperti... geraman pelan. Berat. Dalam. Dan bukan suara manusia.

Mereka langsung siaga.

Dina menarik lengan Angga. “Lo denger itu?!”

“Iya,” bisik Angga sambil menahan napas.

Bima mencoba menyalakan kameranya lagi. Layar tiba-tiba menyala sekejap, tapi menampilkan gambar buram berwarna merah kehitaman, seolah ada sesuatu besar... merayap.

Kemudian layar mati lagi.

Dina mundur beberapa langkah. “Kita harus cabut sekarang.”

Namun sebelum mereka bisa kembali ke mobil, angin bertiup lebih kencang dari sebelumnya, kali ini dengan suara yang seperti desisan.

Dan... mesin mobil Angga menyala sendiri.

Semua menoleh serempak.

Lampu depan mobil menyala otomatis, menyinari jalan. Di depan cahaya lampu, sosok Windi berdiri lagi. Kali ini lebih dekat. Tubuhnya masih utuh, tapi wajahnya terlihat lebih pucat dari semalam.

Ia tidak berkata apa-apa.

Tapi bibirnya bergerak, mengucap satu kalimat...

“Jangan pergi.”

Dan seketika itu pula, mesin mobil mati kembali.

---

Mereka berlari ke arah mobil. Pintu dibuka paksa, dan Angga segera mencoba menyalakan mesin. Gagal.

Ia coba lagi. Gagal.

Dina memandang ke kaca belakang. “Dia masih di sana!”

Bima menoleh. “Gue gak liat siapa-siapa”

“Cermin!” seru Dina. “Dia cuma kelihatan di spion!”

Mereka semua menatap spion tengah.

Dan di sana Windi berdiri tepat di tengah jalan. Tubuhnya gemetar seperti menahan isak. Tapi sorot matanya... seperti memohon. Seolah ia tahu... mereka akan meninggalkannya lagi.

“Windi...” bisik Angga pelan. “Kami gak akan pergi. Belum.”

Dan tepat setelah ia berkata begitu, mesin mobil tiba-tiba menyala sendiri.

Lampu menyala. AC berembus. Radio kembali hidup.

Dina menatap Angga dengan napas tercekat. “Gue gak ngerti ini. Tapi satu hal pasti... dia gak pengen kita pergi.”

Angga mengangguk. “Karena kita makin dekat.”

Bima mengusap wajahnya. “Gue gak tahu kita makin dekat ke jasadnya... atau ke kematian kita sendiri.”

Mereka duduk diam di dalam mobil selama beberapa menit. Tak ada yang berbicara. Hanya suara napas dan detak jantung yang masih terasa kencang di telinga masing-masing.

Di luar jendela, kabut mulai turun lebih tebal dari sebelumnya, seolah membungkus seluruh area sekitar KM 67 dalam tabir gaib yang tak bisa ditembus.

“Ga...” suara Dina pelan. “Kalau tadi lo gak bilang ‘kami gak akan pergi’... kita mungkin masih di sana sekarang.”

Angga hanya mengangguk pelan.

Ia menggenggam kancing berinisial “W.O.” itu erat-erat, seolah benda kecil itu adalah bukti bahwa mereka tak sedang berhalusinasi.

“Dia bukan hantu biasa,” gumamnya akhirnya. “Dia tahu apa yang dia alami. Dia masih ingat rasa ditinggalkan, rasa hilang... dan rasa dilupakan.”

Dina menatap spion. “Dan sekarang dia gak pengen itu terjadi lagi.”

Mobil mulai melaju meninggalkan KM 67, namun tak satu pun dari mereka menoleh ke belakang. Rasanya seperti ada sepasang mata yang terus mengikuti mereka dari balik kabut.

---

Sesampainya di kos, mereka langsung masuk ke kamar Angga.

Dina menyalakan laptop dan menyambungkan kamera Bima. Gambar dari kamera masih rusak, tapi ada satu file video pendek yang terekam otomatis sebelum kameranya mati total.

Durasi: 18 detik.

Mereka memutarnya.

Gambar awal menunjukkan Bima berjalan menuju titik semak-semak, dengan suara Dina dan Angga di latar.

Lalu di detik ke-12 kamera menangkap sesuatu di balik kabut.

Bentuk wajah.

Pucat. Bermata hitam pekat. Tidak seperti Windi... tapi seperti bayangan kelam yang mengikuti di belakang mereka.

Gambar langsung berguncang dan memburam hingga layar hitam total.

Mereka bertiga terdiam.

Bima berkata pelan, “Itu... bukan Windi. Itu sesuatu yang lain.”

Angga berdiri dan menatap keluar jendela kamar.

Di luar, kabut masih menggantung tipis.

Dan ia tahu...

Bukan cuma Windi yang ada di KM 67.

Ada yang lain.

Yang lebih tua.

Yang lebih gelap.

Dan yang... tidak ingin rahasia ini terungkap.

More Chapters