Cherreads

Chapter 19 - Bab 19 Dalam diam, ada perhatian

Beberapa hari setelah kepulangan dari pantai, mereka kembali ke kebidupan seperti biasa, suasana di koridor sekolah dipenuhi suara langkah kaki dan obrolan riuh siswa. Bel berbunyi, menandakan jam pelajaran pertama segera dimulai.

Raida duduk di bangkunya dekat jendela, menatap keluar sejenak. Sinar matahari pagi masuk, menyoroti wajahnya yang tenang seperti biasa.

Tak lama kemudian, Rey dan Zeks masuk ke kelas sambil berdebat sengit.

"Sialan kau! Ini semua gara-gara kau!" seru Zeks dengan wajah kesal.

"Ha? Kenapa jadi salahku? Kau saja yang mudah tertipu!" balas Rey.

Raida menghela napas pelan. "Padahal masih pagi, sudah ribut lagi..." pikirnya, lalu bangkit dan menghampiri mereka.

"Apa yang kalian ributkan pagi-pagi begini?" tanya Raida.

"Rey membuatku rugi besar," keluh Zeks.

"Dia saja yang bodoh," balas Rey cepat.

"Kita kalah karena mu! Kalau saja kau tidak berpisah dariku, kita pasti menang!" seru Zeks lagi.

Raida menatap mereka berdua. "Sudah, sudah. Memangnya kau rugi apa sampai segitunya?"

"Dia membuatku rugi seratus dolar!" jawab Zeks keras.

Raida terdiam sejenak. "Kalian... bermain judi?"

"Tidak! Kami cuma taruhan kecil dengan seseorang. Siapa yang menang dalam game, dia yang dapat uangnya," jelas Rey santai.

Raida memukul dahinya. "Bukankah itu sama saja dengan judi!!"

Sebelum mereka sempat membalas, terdengar suara dari arah pintu.

"Minggir, jangan menghalangi pintu masuk!" kata Sarah sambil berjalan masuk.

Rey, Zeks, dan Raida langsung menoleh. Mereka heran biasanya Amel selalu datang bersama Sarah. Mereka sempat mengintip ke luar lorong, tapi hanya melihat siswa-siswa lain berlalu lalang.

"Ke mana Amel? Bukankah kalian selalu berangkat bersama?" tanya Raida.

Sarah menaruh tasnya di meja. "Tadi waktu aku menjemputnya, ibunya bilang Amel sedang sakit."

"Apa? Kukira setelah menerima kekuatan, kita tidak bisa sakit," kata Zeks bingung.

Raida menatapnya tenang. "Bagaimanapun juga, kalian masih manusia. Tentu saja bisa sakit."

"Ibu? Kapan keluarga Amel kembali?" tanya Rey.

"Kurasa saat kita berlibur kemarin," jawab Sarah.

Rey menatap Raida dan Zeks. "Kalau begitu, ayo menjenguk Amel sepulang sekolah nanti."

Raida mengangguk pelan. "Ya, setuju."

Bel pulang berbunyi, menandakan akhir hari sekolah. Langit sore tampak keemasan, sinarnya menerobos celah jendela dan menyoroti lorong yang mulai lengang.

"Sudah siap?" tanya Rey sambil menyampirkan tas di bahunya.

"Ya, ayo sekarang sebelum gelap," jawab Raida

.

Mereka berjalan beriringan menuju rumah Amel. Aroma bunga yang lembut tercium saat mereka tiba di depan halaman.

Pintu depan terbuka, menampakkan seorang pria berwajah ramah mengenakan pakaian bersulam rapi Arman Lestari, ayah Amel.

"Wah, kukira siapa. Ternyata si kecil Sarah," sapa Arman sambil tersenyum.

Sarah mendengus kecil. "Paman, aku sudah tujuh belas tahun. Aku bukan anak kecil lagi."

"Haha, tapi bagiku, kau dan Amel tetap gadis kecil yang dulu sering bermain di halaman ini," balas Arman sambil tertawa.

Zeks menyela dengan nada menggoda, "Paman, kalau paman lihat sifat aslinya, cara pandang paman pasti berubah."

Sarah langsung melotot ke arah Zeks. "Hei!" serunya, membuat yang lain menahan tawa.

Arman tertawa kecil. "Kalian memang serasi, ya."

"Halo, paman. Lama tak bertemu," sapa Rey sambil melambaikan tangan.

"Wah… kau, Rey? Terakhir kali kulihat kau masih kurus dan pendiam. Sekarang tampak lebih tangguh," ujar Arman dengan senyum lebar.

"Benarkah? Aku bahkan tak sadar sudah berubah," balas Rey dengan cengiran.

Tatapan Arman kemudian beralih pada Raida. "Hmm, sepertinya ada wajah baru di sini."

"Oh iya," kata Sarah cepat, "paman, ini Raida. Dia murid pindahan di kelas kami. Raida, ini ayahnya Amel."

Raida menunduk sopan. "Salam kenal, paman."

Arman memperhatikan Raida sejenak, seolah mencoba mengingat sesuatu. "Entah kenapa wajahmu terasa tak asing… seperti kita pernah bertemu sebelumnya."

"Mungkin hanya firasat saja, paman," jawab Raida tenang.

Arman tersenyum tipis. "Mungkin begitu. Ayo, masuk. Kalian pasti datang untuk menjenguk Amel, kan?"

"Betul, paman," sahut Sarah.

Mereka pun masuk ke dalam. Rumah itu terasa hangat dan wangi aroma masakan. Dari arah dapur, muncul seorang wanita mengenakan celemek Nadira Putri Lestari, ibu Amel.

"Oh, kalian ingin menjenguk Amel?" tanya Nadira lembut.

"Iya, bibi," jawab Sarah sopan.

"Langsung saja ke kamarnya." ucap Nadira sambil tersenyum.

"Baik, bibi," kata Sarah.

Mereka menaiki tangga perlahan. Suasana rumah terasa tenang, hanya terdengar bunyi langkah kaki mereka di anak tangga, Di ujung lorong, sebuah pintu putih dengan gantungan berbentuk bintang tampak sedikit terbuka.

Raida mengetuk pelan. "Amel, kami datang menjenguk."

Dari dalam terdengar suara lembut.

"Masuk saja, pintunya tidak dikunci," jawab Amel.

Mereka pun masuk perlahan. Kamar itu tampak rapi,tirai putih yang melambai lembut diterpa angin sore. Di meja belajar tampak beberapa buku terbuka, dan di sudut kamar ada vas bunga yang baru diganti ibunya.

Amel duduk bersandar di ranjang dengan selimut menutupi kakinya. Wajahnya terlihat agak pucat, tapi senyum hangat langsung muncul begitu melihat mereka.

"Wah, kalian beneran datang," ucap Amel senang.

"Tentu saja!" kata Rey sambil menarik kursi dan duduk di dekat tempat tidur. "Kau pikir kami tega membiarkanmu sendirian?"

Sarah tersenyum sambil menaruh tas di lantai. "Aku kira kau bakal lebih parah dari ini. Syukurlah cuma demam ringan."

Amel tertawa kecil. "Iya, cuma masuk angin. Tapi ibuku hebohnya luar biasa."

Zeks bersedekap, pura-pura serius. "Kupikir kau sekarat. Aku bahkan sudah siap membawa bunga duka cita."

Sarah langsung melotot. "Zeks!"

Yang lain tertawa. Bahkan Amel sampai menutupi mulutnya sambil terkikik. "Kau memang nggak berubah ya, Zeks."

Raida berdiri di dekat jendela, menatap cahaya sore yang masuk lewat celah tirai. "Yang penting kau baik-baik saja," katanya tenang. "Kami sempat khawatir."

Amel menatapnya lembut. "Terima kasih, Raida. Senang rasanya kalian datang."

Rey menepuk meja kecil di samping tempat tidur. "Kau butuh apa-apa? Air? Buah? Atau aku harus masak sup?"

Sarah menatapnya cepat. "Tolong jangan. Masakanmu."

Zeks mengangguk setuju. "Benar itu."

Amel tertawa sampai matanya berair. "Kalian benar-benar bikin suasana jadi ramai."

Suasana kamar dipenuhi tawa ringan. Dari luar, cahaya senja perlahan meredup, meninggalkan warna oranye keemasan di langit. Dalam kehangatan sore itu, mereka merasa seperti waktu berhenti sejenak hanya ada tawa, persahabatan, dan rasa tenang.

Di sebuah plenet kegelapan, planet yang mati, nebros duduk di singgasananya, mendengarkan laporan salah satu bawahannya sedang melapor,

"Jadi... Raida dan beberapa penduduk bumi, sedang menyelidiki sejarah kuno di bumi? Apa mereka menemukan sesuatu" ucap nebros dengan nada mengimidasi

"Tapaknya tidak, mereka tidak menemukan sesuatu hanya saja mereka tak sengaja membangunkan salah satu monster kuno yang tertidur di bumi" balas bawahannya

"Baiklah, kau boleh pergi sejarang" kata nebros

Bawahannya mengangguk lalu pergi

"Bukan kah kau juga dari bumi, apa kau tau tentang sejarah kuno di bumi" kata nebros kepada sosok di belakangnya

Sosok itu menampakkan dirinya, sosok itu adalah manusia, dia memiliki mata hitam dan rambut panjang berwarna hitam.

"Entah lah?, tapi aku yakin kalau ini salah satu peninggalan raja pahlawan yang pertama" ucap sosok itu

Sosok itu menyeringai tipis "Lebih baik kau kirimkan seseorang untuk menyelidiki hal ini."

"Atau kau suruh orang itu untuk membunuh Raida, dengan adanya dia kau tak akan mendapat apa yang kau inginkan." 

"Gezon" panggil nebros

Gezon segara tiba dan menunduk di depan singgasananya, "ada apa tuanku memanggil" ucapnya sambil melirik ke sosok manusia di belakang nebros.

"Pergilah ke bumi lalu bunuh raida di sana" kata nebros dengan mengimidasi

Gezon agak bimbang dengan perintah itu dia mengengepalkan tangannya, "baik tuanku perintah mu akan ku laksanakan" ucap gezon 

Gezon berdiri lalu meninggalkan ruangan, saat di luar dia bertemu Trion,

"Ada apa dengan mu, kenapa wajahmu bimbang" tanya Trion

"Aku mendapat perintah untuk membunuh Raida" balas Gezon

"Menyuruh orang kepercayaannya untuk membunuh bajingan gila itu, sepertinya tuan kita ingin memulai perang" kata Trion

"Ini bukan keinginan tuan kita, ini karena manusia itu, ku rasa dia menghasudnya lagi" balas Gezon

"Cih, aku juga tak suka dengan manusia itu, sebenarnya apa yang di lihat tuan kita darinya" kata trion

"Sebenarnya bukan itu yang membuatku bimbang" kata Gezon

"Lalu apa itu... Ayolah kawan ceritakan saja sebelum kau bertarung mati matian dengan si bajiangan gila itu" balas Trion sambil merangkul pundak Gezon

Gezon melirik ke bawah "kau merangkulku begini sambil terbang?" 

"Diam lah kau terlalu tinggi bagiku, katakan saja apa yang membuatmu bimbang" kata Trion

Gezon menunduk dan perpikir sekejap "ah sudah lah, aku pergi dulu" katanya lalu berjalan pergi

"Gezon tunggu?" kata Trion

Gezon menoleh ke belakang

 Trion menggaruk kepalanya sambil memalingkan wajahnya "Bajingan gila itu cukup kuat, aku bahkan hampir mati terakhir kali, jika saja dia tak melepaskan ku pasti aku sudah mati, tapi setelah apa yang terjadi pada Varnogh dan Vanirs..." 

"Aku juga berduka atas kematian mereka, tapi bagaimana lagi namanya juga pertarungan hidup dan mati, salah satunya pasti akan mati" sela Gezon lalu mulai meninggalkan Trion

"Jangan mati, jika kau tak mampu mundur saja" ucap trion

Gezon berhenti lalu berbalik "tentu, tenang saja" ucap gezon sambil tersenyum dengan mengacungkan jempol, lalu meninggalkan Trion sendirian

"Cih dasar bodoh" kata Trion yang menigalkan tempat itu

Pada saat itu Trion menyadari sesuatu, seperti kalau itu adalah pertemuan terakhir mereka

Di bumi Amel duduk bersandar di ranjang, wajahnya masih agak pucat namun matanya tampak lebih segar. Di sekitarnya, suasana terasa hangat. Sarah sedang merapikan buah yang dibawa.

Raida berdiri agak jauh, di dekat jendela. Dari tadi ia hanya diam, tapi pandangannya sesekali jatuh pada Amel. Ia memperhatikan cara Amel menarik napas, cara tangannya menahan selimut , hal kecil, tapi cukup membuatnya tahu Amel belum benar-benar pulih.

Amel menoleh dan tersenyum kecil. "Raida, kau nggak bosan berdiri terus?"

Raida menggeleng. "Tidak. Aku cuma memastikan kau baik-baik saja."

Amel terkekeh pelan. "Aku baik. Cuma masih agak berat di kepala."

Raida mendekat beberapa langkah, lalu duduk di kursi dekat tempat tidur. "Kalau begitu jangan terlalu banyak bicara. Istirahat saja."

Sarah melirik mereka sambil tersenyum. "Sepertinya Raida cocok jadi pengawas kesehatan."

Rey menimpali, "Atau mungkin dia hanya peduli kalau yang sakit Amel."

Raida melirik sekilas. "Kau selalu suka berbicara terlalu banyak, Rey."

Yang lain tertawa pelan. Amel ikut tersenyum, lalu berkata lembut, "Terima kasih sudah datang, semuanya. Aku benar-benar senang."

Raida menunduk sedikit, suaranya tenang tapi terdengar lebih hangat dari biasanya. "Kau kelihatan lebih tenang sekarang. Senang rasanya melihatmu seperti itu."

Amel menatapnya sejenak, lalu tersenyum lagi. "Kau selalu tenang, tapi ternyata perhatian juga."

Raida tidak menjawab, hanya tersenyum tipis sambil bersandar di kursi. Dari luar jendela, cahaya sore mulai meredup, menambah keheningan yang nyaman di antara mereka.

Baik, berikut lanjutan adegannya — tetap dalam nada hangat dan alami, menunjukkan perhatian kecil Raida sebelum mereka berpamitan pulang:

---

Beberapa menit berlalu dalam suasana tenang. Sarah sedang membereskan bungkus buah, sementara Rey dan Zeks game yang mereka mainkan di ponsel mereka.

Raida berdiri, lalu menatap Amel yang mulai terlihat mengantuk. "Sepertinya kau butuh istirahat sekarang," katanya pelan.

Amel mengangguk lemah sambil menarik selimut. "Iya… mungkin sebentar lagi aku tidur."

Raida merapikan selimut itu agar menutupi bahunya. Gerakannya sederhana, tapi lembut dan hati-hati.

"Tidurlah. Besok pasti sudah lebih baik," ucapnya tenang.

Amel menatapnya sekilas sebelum menutup mata. "Kau selalu bilang hal yang membuatku tenang, Raida. Terima kasih."

Raida hanya mengangguk kecil. "Itu bagus. Jangan pikirkan apa pun dulu."

Sarah menghampiri dan berbisik, "Ayo, kita biarkan dia istirahat."

Mereka bertiga mengangguk pelan. Saat hendak keluar, Raida sempat menoleh lagi menatap Amel yang sudah terlelap, napasnya pelan dan teratur. Sekilas, ia tersenyum.

Di luar kamar, cahaya sore hampir hilang, berganti warna lembut keabu-abuan.

Rey menepuk bahunya. "Kau tadi kelihatan seperti kakak yang khawatir."

Raida menatap ke depan. "Mungkin. Tapi itu bukan hal buruk."

Zeks tersenyum tipis. "Kau mulai berubah, Raida. Dulu kau terlalu dingin."

Raida hanya menjawab dengan nada datar, "Kadang seseorang perlu sedikit hangat kalau ingin menjaga yang penting."

Ucapan itu membuat mereka semua diam sejenak, lalu melanjutkan langkah menuruni tangga. Dari ruang tamu, Arman dan Nadira menyapa ramah sebelum mereka berpamitan pulang.

Di luar rumah, angin malam mulai berembus. Langit berwarna ungu tua, bintang-bintang muncul perlahan.

Raida menatap ke arah jendela kamar Amel, lalu berjalan pelan menyusul yang lain.

More Chapters